Bima Suci
Sang Bima menceburkan dirinya ke dalam samudra nan ganas
mengikuti perintah gurunya, Begawan Durna, untuk mencari “air kehidupan” guna
menggapai kesempurnaan hidup, Tirta Pawitra Mahening Suci. Badan
terombang-ambing dihempas dan diterjang ganas ombak, seolah kapas
dipermainkan tiupan angin kencang di angkasa nan maha luas. Werkudara sudah
pasrah akan nasib dirinya. Namun tekadnya sungguh luar biasa, tidak goyah oleh
kondisi tubuh yang makin lemah.
Sungguh sangat kokoh sikap dan semangat Sang Bima dalam
menuruti apa kata seorang guru yang di hormatinya. Bahkan larangan
saudara-saudaranya para Pandawa dan juga tangisan ibunya untuk mengabaikan
perintah itu, tiada mampu menggoyahkan tekatnya untuk kali ini. Dalam benaknya
tlah terpatri taqlid kepada sang guru, mengikuti apapun kata guru, walaupun
menurut nalar normal dapat dipertanyakan kebenarannya. Itulah Bima ! Selagi
kemantaban tekad tlah hadir, maka halangan apapun tiada digubrisnya.
Tiba-tiba dihadapannya, muncullah seekor naga yang luar
biasa besarnya menghadang laju Bima. Kyai Nabat Nawa, nama naga raksasa itu,
langsung menyerang sosok kecil dihadapannya dan menggigit betis Adik Yudhistira
itu. Belum cukup dengan itu, diraihnya badan Werkudara untuk dibelit dengan
maksud menghancurkan raga manusia yang menjadi mangsanya.
Namun badan Werkudara tidak ikut hancur karena tekadnya
tidak lantas luntur. Semangatnya untuk mengabdi kepada guru begitu kuat
mengalahkan rasa sakit serta rasa lelah yang sangat. Dikerahkan segala upaya,
dikumpulkan seluruh tenaga untuk melepas himpitan naga. Dibayangkan sosok
gurunya, senyum ibunya tercinta, tawa saudara-saudaranya dan tentu saja
disandarkan rasa pasrah sumarah atas segala kehendak Sang Khaliq penguasa alam
semesta. Dan berhasil ! Seketika kemudian Bima melesat menuju leher sang naga
untuk menghunjamkan kuku Pancanaka.
Raung kesakitan yang memekakan telinga mengiringi rubuhnya
sang naga. Mengiringi kematian badan raksasa itu hingga mengambang memenuhi
pandangan. Disekelilingnya, air laut memerah oleh darah.
Werkudara begitu lelah. Sudah hilang kesadarannya.
Perasaannya jiwanya melayang, tak ingat apakah masih hidup atau sudah tiada.
Cukup lama jiwa sang ksatria itu melanglang tak tentu rimba.
Hingga saat tersadar, betapa terkejut Bima ketika dirinya
merasa menginjak tanah, seolah menapak kembali kehidupan. Pandangannya
memastikan bahwa dirinya berada dalam suatu pulau kecil ditengah lautan luas di
dasar samudra itu. Alangkah indahnya pulau itu yang disinari oleh cahaya-cahaya
kemilau menghiasi nuansa sekeliling.
Saat rasa begitu terbuai oleh ketakjuban, tiba-tiba Bima
semakin dikejutkan oleh datangnya Bocah Bajang yang diiringi oleh cahaya yang
mengalahkan cahaya yang ada. Cahaya diatas Cahaya !!! Bojah Bajang itu sungguh
kecil, terlalu kecil bila dibandingkan dengan perawakan Bima. Bocah Bajang itu
berjalan perlahan menghampirinya.
“Aku sungguh heran sekali, sepertinya sudah saatnya kematian
menjemputku. Sama sekali aku tidak merasakan kehidupan lagi. Namun saat ku telusuri
pandangan ke badan sampai ke ujung kaki, ternyata aku masih menyentuh bumi.
Hilang wujudnya naga yang menggigit pahaku, tak disangka aku sekarang terdampar
di pulai kecil yang begitu indah. Tetumbuhan berbuah bergelantungan diselimuti
cahaya. Namun terangnya cahaya tadi masih kalah dengan cahaya yang datang mengiringi
Bocah Bajang menuju kesini” Sang Bima bergumam seolah bicara pada diri sendiri.
“Ayo mengakulah Bocah Bajang, siapa dirimu sebenarnya. Kamu
bermain kesini siapa yang mengantarkan dan mengapa kamu tidak terpengaruh oleh
ikan-ikan yang ganas yang sedang berpesta melahap darah naga itu”
“Werkudara, Kamu jangan gampang pergi bila belum mengetahui
dengan tepat tempat yang hendak kamu tuju. Kamu jangan gampang makan tanpa tahu
apa manfaat yang terkandung dalam makanan itu. Jangan sekali-kali berpakaian, bila
tidak mengetahui bagaimana cara yang benar dalam berbusana. Pernahkan engkau
mendengar cerita tentang seorang dari gunung yang ingin membeli emas di kota.
Saat terjadi transaksi jual beli dengan pedagang, orang gunung tadi hanya
diberi selembar kertas berwarna kuning yang dianggap sebagai emas murni. Maka
berhati-hatilah terhadap segala sesuatu, semua tindakan harus diiringi
berdasarkan ilmunya.”
Sang Bima begitu heran akan sosok mungil di depannya itu
yang telah mengetahui nama dan melantunkan sanepa tentang maksud dan tujuan
perjalanannya. Dan yang membuatnya semakin heran adalah perasaan adem damai
hanya dengan melihat sosok mungil itu serta mendengar suaranya. Siapakah
gerangan sosok itu?
Dan seakan mengerti apa yang tengah bergolak dalam pikiran
Werkudara, maka sosok itu melanjutkan kata-katanya :
“Perkenalkan Werkudara, saya adalah Dewa Kebahagian berjuluk
Sang Hyang Bathara Dewa Ruci”
Seketika duduk bersimpuh Bima dihadapan sosok suci nan
mungil itu. Seumur hidup, Bima tidak pernah “basa karma” kepada siapa-pun,
bahkan kepada Bathara Guru sekalipun. Namun di hadapan sosok suci ini Bima
sungguh tunduk dan sangat takjim bertutur.
Kemudian Werkudara menjelaskan maksudnya hingga sampai
diujung samudra dan bertemu dengan Dewa Ruci ini.
Dewa ruci mengemukakan bahwa Werkudara wajib mendengarkan
apa yang akan diuraikan terkait dengan apa yang sedang dicarinya
Apakah ilmu kesempurnaan hidup itu ? Ilmu kesempurnaan hidup
ini akan diperoleh bila telah sempurna hidupnya. Hidup sudah tidak tergantung
lagi kepada keinginan-keinginan dunia lagi. Kalau seandainya kehidupan manusia
masih menggunakan daya panasnya matahari, daya dari semilir angin, segarnya air
dan masih menginjak bumi dibawah langit, manusia belum bisa dibilang sempurna
karena yang Sempurna itu hanyalah Sang Pencipta. Meskipun ada manusia yang
katanya mempunyai ilmu yang linuwih, mampu melakukan ini, mengerjakan itu,
pasti ada kekurangannya, ada cacatnya, tidak ada yang sempurna di dunia ini
karena dunia dan segala isinya adalah fana belaka.
Apakah “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu ? Tidak akan dapat
diperoleh wujud air itu dimanapun, termasuk ditempat ini. “Tirta Pawitra
Mahening Suci” itu hanyalah sebuah perlambang yang harus dimengerti maksudnya.
Tirta bermakna air, berarti kehidupan. Dimana ada air disitu
bakal ditemui kehidupan. Pawitra adalah bening. Air bening, tidak hanya dilihat
dari wujud air yang bening namun juga harus dilihat dari kegunaannya menghidupi
semua makhluk, manusia, hewan dan tetumbuhan. Mahening, dari kata Maha dan
ening yang mewujudkan arti ketentraman lahir dan batin. Suci, terhindar dari
dosa.
Jelasnya, didalam menjalani hidup ini, mencarilah kehidupan
yang sempurna yang mampu memberikan ketentraman lahir dan batin, mampu
menghindarkan diri dari dosa-dosa yang menyelimuti diri untuk menggapai
kesucian. Namun petunjuk itu belum mampu diperoleh oleh banyak manusia dari
dulu hingga kini meskipun petunjuk itu tlah lama adanya.
Bila ingin mengetahui hidup yang langgeng, tentram terhindar
dari kegalauan dan kekecewaan, manakala tlah dapat menemukan “alam jati”.
Dimanakah Alam Jati itu ? Tidak bisa dilihat oleh mata, hanya mampu dirasakan
melalui cipta.
Bima kemudian diminta untuk memasuki gua garba Dewa Ruci.
“Duh Batara … bagaimana hamba mampu mengerti alam jati
dengan memasuki badan paduka. Badan hamba begitu besar sementara Paduka begitu
kecil. Bahkan, kelingking hamba saja tidak akan mampu masuk ke badan paduka.”
“Hai Werkudara, besar mana kamu dengan jagad ? Bahkan Gunung
dan samudrapun mampu saya terima. Percayalah, masuklah kamu melalui telinga
kiriku.”
Seketika tanpa tahu apa yang terjadi, maka Bima tiba-tiba
melewati telinga Dewa Ruci dan akhirnya sampai ke gua garba Sang Dewa.
Dan saat telah berada di gua garba Dewa Ruci, yang ditemui
Bima hanyalah perasaan tentram belaka.
“Pukulun, hamba sekarang hidup dimana ? Hamba melihat tempat
yang begitu luas seakan tanpa tepi, begitu terang tanpa bayangan. Terangnya
bukan karena cahaya mentari, namun sangat nyata dan indah. Hamba tidak tahu
arah kiblat, mana utara mana selatan, mana barat atau timur. Pun tidak tahu
apakah ini di bawah atau di atas, depan atau belakang. Hamba masih dapat
melihat dengan baik, juga mendengar dengan seksama, namun mengapa hamba tidak
melihat badan hamba sendiri. Yang hamba rasakan hanya kedamaian dan ketentraman
semata. Hamba hidup di alam mana ini Pukulun ?”
“Werkudara, kamu sekarang berada di alam yang bernama “Loka
Baka”, alam kelanggengan, alam jati. Kamu dapat melihat dan mendengar dengan
nyata namun tidak mampu melihat dirimu sendiri, itulah yang dinamakan Jagat
Lagnyana, berada dalam alam kematian namun masih hidup, merasakan mati namun
masih hidup”
“Hamba melihat satu cahya tapi berpendar menjadi delapan”
“Nyala satu cahaya delapan disebut pancamaya. Panca bukan
berarti lima tapi beraneka rupa. Sedangkan delapan cahaya tadi adalah daya
kehidupan lahir batin yaitu : cahaya matahari, cahaya bulan, cahaya bintang,
cahaya mendung, cahaya bumi, cahaya api, cahaya air, cahaya angin.
Cahaya-cahaya itulah yang mampu menghidupi alam semesta. Cahya mentari, bulan
dan bintang mewujudkan badan halus manusia, roh. Sedangkan cahya bumi, api, air
dan angin mewujudkan badan kasar manusia. Ketujuh cahya yang telah menyatu
disebut wahyu nungkat gaib, satu yang samar. Namun hidup haruslah berlandaskan
kepada “pramana” yang adalah atas dorongan Sang Hyang Suksma”
“Pukulun, hamba melihat 4 cahaya 4 warna”
“4 Cahaya bermakna hawa 4 perkara. Merah adalah dorongan
hawa nafsu, hitam perlambang kesentausaan namun berwatak brenggeh, kuning
dorongan keinginan namun berwatak jail dan putih merupakan dorongan kesucian.
Ketiga watak merah, hitam dan kuning senantiasa mengganggu watak putih yang
sendirian. Kalau tidak mempunyai keteguhan sikap dalam menghadapi godaan ketiga
cahya tadi maka cahya putih akan ternoda. Namun bila cahya putih tadi berjalan
secara lurus dalam kebenaran, maka ketiga cahya yang lain akan menyingkir,
hilang, musnah dengan sendirinya.
“Kalau begitu, ijinkanlah hamba tinggal disini selamanya.
Sebab kalau hamba kembali kealam wadag maka pasti akan menemui berbagai derita
sengsara. Sementara di sini yang hamba temui dan rasakan hanyalah kedamaian dan
ketentraman semata”
“Werkudara, sikap yang begitu adalah salah, tidak sesuai
dengan sikap satria yang harus memenuhi kewajiban di dunia dalam menegakan
kebenaran dan memberantas kemungkaran. Kamu disini hanya diperlihatkan alam
jati dan untuk saat ini belum saatnya kamu tinggal disini. Suatu saat nanti
kamu pasti akan menikmati alam itu. Maka keluarlah segera kamu dari gua
garba-ku untuk segera memenuhi tugas kewajiban seorang satria. Tugas pertamamu
telah menanti yaitu menyelamatkan gurumu, Bagawan Durna, yang akan nglalu
njebur samudra.”
Maka berakhirlah pertemuan indah anatar Bima dengan Dewa
Ruci yang mempertebal keyakinannya untuk tetap selalu berjuang memenuhi tugas
kewajiban sebagai seorang manusia utama di muka bumi ini.
Sumber: Werkudara (3) _ wayangprabu.com.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar