Obyek
kenal yang paling dekat dengan kita adalah diri kita sendiri. Bagaimana kita kenal
dengan yang lain jika kita tak mengenal diri. Kita mengenal diri kita karena
kita ada. Pemikiran yang sederhana akan mengatakan bahwa, kita ada karena ada yang
mengadakan. Inilah pemikiran sehat yang menghantarkan kita untuk mengenal Tuhan
sebagai sang Pencipta. Hal ini akan terjadi jika pemikiran kita tidak berhenti
pada obyek pengenalan, Jika tidak sampai kapan pun kita tidak akan mengenal
Tuhan. Lalu pengetahuan tentang diri yang bagaimana yang menjadi kunci pembuka
pengetahuan tentang Tuhan?
Kita akan menemukan kunci pembuka
itu jika kita bertanya: Siapakah kita? Dari mana asal kita dan ke mana tempat
kita kembali? Apa tujuan kita hidup? Di manakah kebahagiaan dan kesedihan kita
sebenarnya?
Lebih
jauh, bahwa kita sebagai manusia, terdapat sifat-sifat hewan, sifat-sifat setan
dan sifat-sifat malaikat. Kita harus temukan mana sifat yang aksidental dan mana
yang esensial.
Hewan
hidupnya cenderung untuk makan, tidur, memuaskan sex dan berkelahi. Setan
selalu sibuk menyebarkan kejahatan, kebohongan dan kesombongan. Malaikat tak
ada hentinya nerenungkan keindahan Tuhan, bebas dari kwalitas- kwalitas hewan
atau setan. Ketiga kwalitas ini ada dalam diri kita, mana yang harus kita
kembangkan dan mana yang harus kita tekan agar ada satu kwalitas yang lebih
dominan. Tentu sifat terpuji yang harus kita kembangkan dan menjauhi sifat hewan
atau setan.
Lain
dari itu, kita terdiri dari jasad dan ruh (hati). Ruh datang ke dunia ini
ibarat pelancong yang mengunjungi suatu negeri untuk berniaga yang pada ahirnya kembali
ke kampung asalnya.
Marilah
kita gambarkan, jasad sebagai suatu kerajaan, ruh (hati) sebagai rajanya dan
panca indra serta kwalitas lain sebagai tentaranya. Nalar kita sebut sebagai
perdana mentri, nafsu sebagai petugas pajak, amarah sebagai polisi. Dengan
pura-pura mengumpulkan pajak, nafsu akan terus-menerus cenderung merampas demi
kepentingannya sendiri. Sementara amarah cenderung kepada kekerasan. Nafsu
(petugas pajak) dan amarah (polisi) keduanya harus berada di bawah dan tunduk
kepada raja, tidak dibunuh atau diunggulkan. Mengingat mereka punya fungsi
tersendiri untuk kepentingan kerajaan. Tapi jika mereka sudah dapat menguasai
raja, maka keruntuhan jiwa pasti akan terjadi.
Dalam
diri kita juga ada akal dan panca indra. Akal punya kemampuan yang tidak dimiliki
mahluk lain. Panca indra mampu mampu berinteraksi, mendeteksi kesan-kesan dari
lingkungan nyata. Tapi ruh (hati) kemampuannya jauh lebih tinggi dari akal dan
panca indra. Karena saat kita tidur, akal dan indra tak mampu lagi
beraktivitas, sedang ruh tak pernah berhenti beraktivitas bahkan mampu menerima
kesan-kesan tak kasat mata. Kadang ia bisa mendapat isarat tentang masa depan.
Ruh
(hati) bagaikan cermin yang dapat memantulkan segala sesuatu yang tergambar di
dalam lauhul-mahfudz. Tapi jika dalam keadaan tidur, pikiran-pikiran segala
sesuatu yang bersifat keduniaan akan memburamkan cermin ini. Sehingga kesan-kesan
yg diterima tidak jelas. Meski demikian setelah jasad mati pikiran keduniaan
itu sirna dan segala sesuatu akan tampak hakekat keterbukaan.
Terbukanya
ruh (hati) kepada alam tak kasat mata ini terjadi dalam keadaan yang mendekati
ilham kenabian, yakni ketika intuisi tumbuh dalam pikiran, tak terbawa lewat
saluran indra apa pun. Makin seorang memurnikan dirinya dari syahwat badani dan
memusatkan pikirannya kepada Tuhan, akan makin peka ia perhadap intuisi-intuisi
seperti itu. Sebenarnya setiap manusia di kedalaman kesadarannya, akan
mendengar pertanyaan: "Bukankan Aku ini Tuhanmu?" dan menjawa:
"Ya." Tapi dalam hati yang kotor tak akan memberikan pantulan yang
jernih. Sementara hati para Nabi dan Wali Allah meskipun mempunyai nafsu
seperti kita, tapi kepekaan terhadap kesan-kesan ilahiah sangat tinggi, jauh
berbeda degan kita. Perbedaan ini bìsa kita liat dari tiga hal:
- Sesuatu yang bisa dilihat orang biasa hanya dalam mimpì, beliau melihatnya pada saat jaga.
- Orang biasa kehendaknya hanya mempengaruhi jasadnya sendiri, tapi kehendak beliau dapat menggerakkan jasad orang lain.
- Pengetahuan yang oleh orang biasa diperoleh dengan belatar dengan sungguh-sungguh, oleh orang khusus didapat hanya melalui intuisi.
- Tentu tidak hanya tiga yang membedaan orang biasa dengan orang khusus, tapi setidaknya inilah yang menjadi patokan.
Tiap fakultas dalam diri kita senang dengan
segala sesuatu untuknya diciptakan. Syahwat senang memuaskan nafsu, amarah
senang degan membalas dendam, mata senang melihat obyek yang indah, telinga senang
mendengar suara yang merdu mendayu. Fungsi jiwa manusia tertinggi adalah mencerap
kebenaran, hingga semakin banyak kebenaran yang ia peroleh maka semakin asyik
ia merasakan kenikmatan. Semua nafsu badani akan musnah bersama matinya jasad
dan seluruh organ lain yang biasa diperalat oleh nafsu. Tapi jiwa akan selalu
hidup dan menyimpan segala pengetahuan tentang Tuhan yang ia peroleh.
Satu
lagi pengetahuan tentang diri yang dapat menghantarkan kita kepada pengetahuan
tentang Tuhan adalah renungan atas jasad kita yang menunjukkan keagungan,
kebijaksanaan, kekuasaan serta cinta Sang Pencipta. Dengan kekuasaan-Nya Ia
bangun kerangka tubuh kita beserta organ-organ lain yang luar biasa dari hanya
satu tetasan belaka. Kebijakan-Nya terungkap dalam kerumitan organ kita yang
serba otomatis dan harmonis. Kecintaan-Nya diperlihatkan dengan berfungsinya
organ-organ fital seperti otak, jantung, hati, darah dan organ lain yang saling
berhubungan untuk menunjang hidupnya tubuh kita. Struktur dalam tubuh kita yang
begitu rumit dan rapih dapat kita sebut 'alamush-shaghir atau jagad
kecil di dalam diri kita, sebagaimana rumit dan rapihnya jagad raya yang penuh
keajaiban.
Demikian
sedikit pengetahuan tetang diri kita, dimana pengetahuan tetang jiwa memainkan
peranan yang lebih penting dalam membimbing kita ke arah pengetahuan tentang
Tuhan ketimbang pengetahuan tentang jasad dan fungsi-fungsinya. Dengan memahami
kualitas yang ada dalam jasad dan yang ada dalam jiwa, maka kita diharapkan
bisa menyempurnakan diri sebagai hamba. bahwa sebenarnya manusia di dunia ini
sungguh lemah dan hina, Hanya di kehidupan yang akan datang sajalah ia akan
mempunyai nilai yang sebenarnya.
Wallahu a'lam bishawab.
Penyaji : Musthaf
Sumber : Banyak dikutip
dari Kimia Kebahagiaan
mengenal diri.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar