Halaman

Minggu, 13 Januari 2013

MENGENAL DIRI

             Mengenal obyek selalu diikuti tingkat seberapa jauh mengenali obyek itu. Mengenal akan mensyaratkan keberadaannya suatu obyek. Obyek akan mudah dikenal jika ia mudah ditangkap oleh panca indra, berujud, bermateri, bebentuk dan berwarna, sampai pada mengenal obyek yang tak berujud, tak bermateri, tak berbentuk dan tak berwarna. Yang terahir ini keberadaannya tak dapat ditangkap oleh panca indra, tapi hanya dapat ditangkap oleh akal.

Obyek kenal yang paling dekat dengan kita adalah diri kita sendiri. Bagaimana kita kenal dengan yang lain jika kita tak mengenal diri. Kita mengenal diri kita karena kita ada. Pemikiran yang sederhana akan mengatakan bahwa, kita ada karena ada yang mengadakan. Inilah pemikiran sehat yang menghantarkan kita untuk mengenal Tuhan sebagai sang Pencipta. Hal ini akan terjadi jika pemikiran kita tidak berhenti pada obyek pengenalan, Jika tidak sampai kapan pun kita tidak akan mengenal Tuhan. Lalu pengetahuan tentang diri yang bagaimana yang menjadi kunci pembuka pengetahuan tentang Tuhan? 

Kita akan menemukan kunci pembuka itu jika kita bertanya: Siapakah kita? Dari mana asal kita dan ke mana tempat kita kembali? Apa tujuan kita hidup? Di manakah kebahagiaan dan kesedihan kita sebenarnya? 

Lebih jauh, bahwa kita sebagai manusia, terdapat sifat-sifat hewan, sifat-sifat setan dan sifat-sifat malaikat. Kita harus temukan mana sifat yang aksidental dan mana yang esensial. 

Hewan hidupnya cenderung untuk makan, tidur, memuaskan sex dan berkelahi. Setan selalu sibuk menyebarkan kejahatan, kebohongan dan kesombongan. Malaikat tak ada hentinya nerenungkan keindahan Tuhan, bebas dari kwalitas- kwalitas hewan atau setan. Ketiga kwalitas ini ada dalam diri kita, mana yang harus kita kembangkan dan mana yang harus kita tekan agar ada satu kwalitas yang lebih dominan. Tentu sifat terpuji yang harus kita kembangkan dan menjauhi sifat hewan atau setan. 

Lain dari itu, kita terdiri dari jasad dan ruh (hati). Ruh datang ke dunia ini ibarat pelancong yang mengunjungi suatu negeri untuk berniaga yang pada ahirnya kembali ke kampung asalnya. 

Marilah kita gambarkan, jasad sebagai suatu kerajaan, ruh (hati) sebagai rajanya dan panca indra serta kwalitas lain sebagai tentaranya. Nalar kita sebut sebagai perdana mentri, nafsu sebagai petugas pajak, amarah sebagai polisi. Dengan pura-pura mengumpulkan pajak, nafsu akan terus-menerus cenderung merampas demi kepentingannya sendiri. Sementara amarah cenderung kepada kekerasan. Nafsu (petugas pajak) dan amarah (polisi) keduanya harus berada di bawah dan tunduk kepada raja, tidak dibunuh atau diunggulkan. Mengingat mereka punya fungsi tersendiri untuk kepentingan kerajaan. Tapi jika mereka sudah dapat menguasai raja, maka keruntuhan jiwa pasti akan terjadi. 

Dalam diri kita juga ada akal dan panca indra. Akal punya kemampuan yang tidak dimiliki mahluk lain. Panca indra mampu mampu berinteraksi, mendeteksi kesan-kesan dari lingkungan nyata. Tapi ruh (hati) kemampuannya jauh lebih tinggi dari akal dan panca indra. Karena saat kita tidur, akal dan indra tak mampu lagi beraktivitas, sedang ruh tak pernah berhenti beraktivitas bahkan mampu menerima kesan-kesan tak kasat mata. Kadang ia bisa mendapat isarat tentang masa depan. 

Ruh (hati) bagaikan cermin yang dapat memantulkan segala sesuatu yang tergambar di dalam lauhul-mahfudz. Tapi jika dalam keadaan tidur, pikiran-pikiran segala sesuatu yang bersifat keduniaan akan memburamkan cermin ini. Sehingga kesan-kesan yg diterima tidak jelas. Meski demikian setelah jasad mati pikiran keduniaan itu sirna dan segala sesuatu akan tampak hakekat keterbukaan. 

Terbukanya ruh (hati) kepada alam tak kasat mata ini terjadi dalam keadaan yang mendekati ilham kenabian, yakni ketika intuisi tumbuh dalam pikiran, tak terbawa lewat saluran indra apa pun. Makin seorang memurnikan dirinya dari syahwat badani dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan, akan makin peka ia perhadap intuisi-intuisi seperti itu. Sebenarnya setiap manusia di kedalaman kesadarannya, akan mendengar pertanyaan: "Bukankan Aku ini Tuhanmu?" dan menjawa: "Ya." Tapi dalam hati yang kotor tak akan memberikan pantulan yang jernih. Sementara hati para Nabi dan Wali Allah meskipun mempunyai nafsu seperti kita, tapi kepekaan terhadap kesan-kesan ilahiah sangat tinggi, jauh berbeda degan kita. Perbedaan ini bìsa kita liat dari tiga hal:
  1. Sesuatu yang bisa dilihat orang biasa hanya dalam mimpì, beliau melihatnya pada saat jaga. 
  2. Orang biasa kehendaknya hanya mempengaruhi jasadnya sendiri, tapi kehendak beliau dapat menggerakkan jasad orang lain. 
  3. Pengetahuan yang oleh orang biasa diperoleh dengan belatar dengan sungguh-sungguh, oleh orang khusus didapat hanya melalui intuisi.
  4. Tentu tidak hanya tiga yang membedaan orang biasa dengan orang khusus, tapi setidaknya inilah yang menjadi patokan.
     Tiap fakultas dalam diri kita senang dengan segala sesuatu untuknya diciptakan. Syahwat senang memuaskan nafsu, amarah senang degan membalas dendam, mata senang melihat obyek yang indah, telinga senang mendengar suara yang merdu mendayu. Fungsi jiwa manusia tertinggi adalah mencerap kebenaran, hingga semakin banyak kebenaran yang ia peroleh maka semakin asyik ia merasakan kenikmatan. Semua nafsu badani akan musnah bersama matinya jasad dan seluruh organ lain yang biasa diperalat oleh nafsu. Tapi jiwa akan selalu hidup dan menyimpan segala pengetahuan tentang Tuhan yang ia peroleh. 

Satu lagi pengetahuan tentang diri yang dapat menghantarkan kita kepada pengetahuan tentang Tuhan adalah renungan atas jasad kita yang menunjukkan keagungan, kebijaksanaan, kekuasaan serta cinta Sang Pencipta. Dengan kekuasaan-Nya Ia bangun kerangka tubuh kita beserta organ-organ lain yang luar biasa dari hanya satu tetasan belaka. Kebijakan-Nya terungkap dalam kerumitan organ kita yang serba otomatis dan harmonis. Kecintaan-Nya diperlihatkan dengan berfungsinya organ-organ fital seperti otak, jantung, hati, darah dan organ lain yang saling berhubungan untuk menunjang hidupnya tubuh kita. Struktur dalam tubuh kita yang begitu rumit dan rapih dapat kita sebut 'alamush-shaghir atau jagad kecil di dalam diri kita, sebagaimana rumit dan rapihnya jagad raya yang penuh keajaiban. 

Demikian sedikit pengetahuan tetang diri kita, dimana pengetahuan tetang jiwa memainkan peranan yang lebih penting dalam membimbing kita ke arah pengetahuan tentang Tuhan ketimbang pengetahuan tentang jasad dan fungsi-fungsinya. Dengan memahami kualitas yang ada dalam jasad dan yang ada dalam jiwa, maka kita diharapkan bisa menyempurnakan diri sebagai hamba. bahwa sebenarnya manusia di dunia ini sungguh lemah dan hina, Hanya di kehidupan yang akan datang sajalah ia akan mempunyai nilai yang sebenarnya. 

Wallahu a'lam bishawab.

Penyaji : Musthaf
Sumber : Banyak dikutip dari Kimia Kebahagiaan
mengenal diri.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar