Guru Sejati, dan Sedulur Papat Lima Pancer
HAKEKAT
GURU SEJATI
Kembali
pada pembahasan Guru Sejati. Melalui 3 langkahnya (Triwikrama) Dewa Wishnu
(Yang Hidup), mengarungi empat macam zaman (kertayuga, tirtayuga,
kaliyuga, dwaparayuga), lalu lahirlah manusia dengan konstruksi
terdiri dari fisik dan metafisik di dunia (zaman mercapada). Fisik
berupa jasad atau raga, sedangkan metafisiknya adalah roh beserta unsur-unsur
yang lebih rumit lagi. Ilmu Jawa melihat bahwa roh manusia memiliki pamomong
(pembimbing) yang disebut pancer atau guru sejati. Pamomong
atau Guru Sejati berdiri sendiri menjadi pendamping dan pembimbing roh
atau sukma. Roh atau sukma di siram “air suci” oleh guru sejati,
sehingga sukma menjadi sukma sejati. Di sini tampak Guru sejati memiliki
fungsi sebagai resources atau sumber “pelita” kehidupan. Guru Sejati
layak dipercaya sebagai “guru” karena ia bersifat teguh dan memiliki
hakekat “sifat-sifat” Tuhan (frekuensi kebaikan) yang abadi konsisten
tidak berubah-ubah (kang langgeng tan owah gingsir). Guru Sejati adalah
proyeksi dari rahsa/rasa/sirr yang merupakan rahsa/sirr yang sumbernya adalah
kehendak Tuhan; terminologi Jawa menyebutnya sebagai Rasa Sejati. Dengan kata
lain rasa sejati sebagai proyeksi atas “rahsaning” Tuhan (sirrullah).
Sehingga tak diragukan lagi bila peranan Guru Sejati akan “mewarnai” energi
hidup atau roh menjadi energi suci (roh suci/ruhul kuddus). Roh kudus/roh al
quds/sukma sejati, telah mendapat “petunjuk” Tuhan –dalam konteks ini hakikat rasa
sejati– maka peranan roh tersebut tidak lain sebagai “utusan Tuhan”.
Jiwa, hawa atau nafs yang telah diperkuat dengan sukma sejati
atau dalam terminologi Arab disebut ruh al quds. Disebut juga sebagai an-nafs
an-natiqah, dalam terminologi Arab juga disebut sebagai an-nafs
al-muthmainah, adalah sebagai “penasihat spiritual” bagi jiwa/nafs/hawa.
Jiwa perlu di dampingi oleh Guru Sejati karena ia dapat dikalahkan oleh nafsu
yang berasal dari jasad/raga/organ tubuh manusia. Jiwa yang ditundukkan
oleh nafsu hanya akan merubah karakternya menjadi jahat.
Menurut
ngelmu Kejawen, ilmu seseorang dikatakan sudah mencapai puncaknya
apabila sudah bisa menemui wujud Guru Sejati. Guru Sejati
benar-benar bisa mewujud dalam bentuk “halus”, wujudnya mirip dengan diri
kita sendiri. Mungkin sebagian pembaca yang budiman ada yang secara sengaja
atau tidak pernah menyaksikan, berdialog, atau sekedar melihat diri
sendiri tampak menjelma menjadi dua, seperti melihat cermin. Itulah Guru Sejati
anda. Atau bagi yang dapat meraga sukma, maka akan melihat kembarannya yang
mirip sukma atau badan halusnya sendiri. Wujud kembaran (berbeda dengan konsep sedulur
kembar) itu lah entitas Guru Sejati. Karena Guru Sejati
memiliki sifat hakekat Tuhan, maka segala nasehatnya akan tepat dan benar
adanya. Tidak akan menyesatkan. Oleh sebab itu bagi yang dapat bertemu Guru
Sejati, saran dan nasehatnya layak diikuti. Bagi yang belum bisa bertemu Guru
Sejati, anda jangan pesimis, sebab Guru Sejati akan selalu mengirim
pesan-pesan berupa sinyal dan getaran melalui Hati Nurani anda. Maka
anda dapat mencermati suara hati nurani anda sendiri untuk memperoleh petunjuk
penting bagi permasalahan yang anda hadapi.
Namun
permasalahannya, jika kita kurang mengasah ketajaman batin, sulit untuk
membedakan apakah yang kita rasakan merupakan kehendak hati nurani (kareping
rahsa) ataukah kemauan hati atau hawa nafsu (rahsaning karep).
Artinya, Guru Sejati menggerakkan suara hati nurani yang diidentifikasi
pula sebagai kareping rahsa atau kehendak rasa (petunjuk Tuhan)
sedangkan hawa nafsu tidak lain merupakan rahsaning karep atau
rasanya keinginan.
Sarat
utama kita bertemu dengan Guru Sejati kita adalah dengan laku
prihatin; yakni selalu mengolah rahsa, mesu budi, maladihening,
mengolah batin dengan cara membersihkan hati dari hawa nafsu, dan menjaga
kesucian jiwa dan raga. Sebab orang yang dapat bertemu langsung dengan Guru
Sejati nya sendiri, hanyalah orang-orang yang terpilih dan pinilih.
SEDULUR;
PAPAT KEBLAT, LIMA PANCER
Atau Keblat
Papat,Lima Pancer, di lain sisi diartikan juga sebagai kesadaran
mikrokosmos. Dalam diri manusia (inner world) sedulur papat sebagai
perlambang empat unsur badan manusia yang mengiringi seseorang sejak dilahirkan
di muka bumi. Sebelum bayi lahir akan didahului oleh keluarnya air
ketuban atau air kawah. Setelah bayi keluar dari rahim ibu, akan segera
disusul oleh plasenta atau ari-ari. Sewaktu bayi lahir juga disertai
keluarnya darah dan daging. Maka sedulur papat terdiri dari unsur kawah
sebagai kakak, ari-ari sebagai adik, dan darah-daging sebagai dulur kembarnya.
Jika ke-empat unsur disatukan maka jadilah jasad, yang kemudian dihidupkan oleh
roh sebagai unsur kelima yakni pancer. Konsepsi tersebut kemudian dihubungkan
dengan hakekat doa; dalam pandangan Jawa doa merupakan niat atau
kebulatan tekad yang harus melibatkan unsur semua unsur raga dan jiwa
secara kompak. Maka untuk mengawali suatu pekerjaan disebut dibutuhkan sikap amateg
aji (niat ingsun) atau artikulasi kemantaban niat dalam mengawali
segala sesuatu kegiatan/rencana/usaha). Itulah alasan mengapa dalam
tradisi Jawa untuk mengawali suatu pekerjaan berat maupun ringan diawali
dengan mengucap; kakang kawah adi ari-ari, kadhangku kang lahir nunggal
sedino lan kadhangku kang lahir nunggal sewengi, sedulurku papat kiblat, kelimo
pancer…ewang-ewangono aku..saperlu ono gawe ….
MENGOLAH
GURU SEJATI
Guru Sejati yakni rahsa
sejati; meretas ke dalam sukma sejati, atau sukma suci, kira-kira
sepadan dengan makna roh kudus (ruhul kudus/ruh al quds). Kita mendayagunakan Guru
Sejati kita dengan cara mengarahkan kekuatan metafisik sedulur papat (dalam
lingkup mikrokosmos) untuk selalu waspada dan jangan sampai tunduk oleh
hawa nafsu. Bersamaan menyatukan kekuatan mikrokosmos dengan kekuatan
makrokosmos yakni papat keblat alam semesta yang berupa energi alam dari
empat arah mata angin, lantas melebur ke dalam kekuatan pancer yang
bersifat transenden (Tuhan Yang Mahakuasa). Setiap orang bisa bertemu Guru
Sejatinya, dengan syarat kita dapat menguasai hawa nafsu negatif; nafsu
lauwamah (nafsu serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara
murka), supiyah (mengejar kenikmatan duniawi) dan mengapai nafsu positif dalam
sukma sejati (al mutmainah). Sehingga jasad dan nafs/hawa nafsu
lah yang harus mengikuti kehendak sukma sejati untuk menyamakan
frekuensinya dengan gelombang Yang Maha Suci. Sukma menjadi suci tatkala sukma
kita sesuai dengan karakter dan sifat hakekat gelombang Dzat Yang Maha Suci,
yang telah meretas ke dalam sifat hakekat Guru Sejati. Yakni sifat-sifat Sang Khaliq
yang (minimal) meliputi 20 sifat. Peleburan ini dalam terminologi Jawa disebut manunggaling
kawula-Gusti.
Tradisi
Jawa mengajarkan tatacara membangun sukma sejati dengan cara ‘manunggaling
kawula Gusti’ atau penyatuan/penyamaan sifat hakikat makhluk dengan Sang
Pencipta (wahdatul wujud). Sebagaimana makna warangka manjing curiga;
manusia masuk kedalam diri “Tuhan”, ibarat Arya Sena masuk kedalam tubuh
Dewaruci. Atau sebaliknya, Tuhan menitis ke dalam diri manusia; curigo
manjing warongko, laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam diri Prabu
Kreshna.
Sebagai
upaya manunggaling kawula gusti, segenap upaya awal dapat dilakukan
seperti melalui ritual mesu budi, maladihening, tarak brata, tapa brata,
puja brata, bangun di dalam tidur, sembahyang di dalam bekerja. Tujuannya agar
supaya mencapai tataran hakekat yakni dengan meninggalkan nafsul lauwamah,
amarah, supiyah, dan menggapai nafsul mutmainah. Kejawen mengajarkan bahwa
sepanjang hidup manusia hendaknya laksana berada dalam “bulan suci Ramadhan”.
Artinya, semangat dan kegigihan melakukan kebaikan, membelenggu setan (hawa
nafsu) hendaknya dilakukan sepanjang hidupnya, jangan hanya sebulan dalam
setahun. Selesai puasa lantas lepas kendali lagi. Pencapaian hidup manusia pada
tataran tarekat dan hakikat secara intensif akan mendapat hadiah berupa
kesucian ilmu makrifat. Suatu saat nanti, jika Tuhan telah menetapkan
kehendakNya, manusia dapat ‘menyelam’ ke dalam tataran tertinggi yakni makna
kodratullah. Yakni substansi dari manunggaling kawula gusti sebagai ajaran
paling mendasar dalam ilmu Kejawen khususnya dalam anasir ajaran Syeh Siti
Jenar. Manunggling Kawula Gusti = bersatunya Dzat Pencipta ke dalam diri
mahluk. Pancaran Dzat telah bersemayan menerangi ke dalam Guru Sejati, sukma
sejati.
TANDA
PENCAPAIAN SPIRITUALITAS TINGGI
Keberhasilan
mengolah Guru Sejati, tatarannya akan dapat dicapai apabila kita sudah
benar-benar ‘lepas’ dari basyor atau raga/tubuh. Yakni jiwa yang telah
merdeka dari penjajahan jasad. Bukan berarti kita harus meninggalkan segala kegiatan
dan aktivitas kehidupan duniawi, itu salah besar !! Sebaliknya, kehidupan
duniawi menjadi modal atau bekal utama meraih kemuliaan baik di dunia maupun
kelak setelah ajal tiba. Maka seluruh kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi
sudah tidak dicemari oleh hawa nafsu. Kebaikan yang dilakukan tidak didasari
“pamrih”; sekalipun dengan mengharap-harap iming-iming pahala-surga, atau takut
ancaman dosa-neraka. Melainkan kesadaran makrokosmos dan mikrokosmos akan
kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan, hendaklah memposisikan diri bukan sebagai
seteruNya, tetapi sebagai “sekutuNya”, sepadan dan merasuk ke dalam gelombang
Ilahiah. Kesadaran spiritual bahwa kemuliaan hidup kita apabila kita dapat
bermanfaat untuk kebaikan bagi sesama tanpa membeda-bedakan masalah sara. Orang
yang memiliki kesadaran demikian, hakekat kehendaknya merupakan kehendak Tuhan.
Apa yang dikatakan menjadi terwujud, setiap doa akan terkabul. Ucapannya
diumpamakan “idu geni” (ludah api) yang diucapkan pasti terwujud. Kalimatnya
menjadi “Sabda Pendita Ratu”, selalu menjadi kenyataan.
Selain
itu, tataran tinggi pencapaian “ilmu batin/spiritual” dapat ditandai apabila
kita dapat menjumpai wujud “diri” kita sendiri, yang tidak lain adalah Guru
Sejati kita. Lebih dari itu, kita dapat berdialog dengan Guru Sejati
untuk mendengarkan nasehat-nasehatnya, petuah dan petunjuknya. Guru sejati
berperan sebagai “mursyid” yang tidak akan pernah bicara omong kosong dan
sesat, sebab Guru Sejati sejatinya adalah pancaran dari gelombang Yang
Maha Suci. Di sana lah, kita sudah dekat dengan relung ’sastra jendra
hayuning rat’ yakni ilmu linuwih, “ibu” dari dari segala macam ilmu,
karena mata (batin) kita akan melihat apa-apa yang menjadi rahasia alam
semesta, sekalipun tertutup oleh pandangan visual manusia maupun
teknologi.
Tanda-tanda
pencapaian itu antara lain, kadang seseorang diizinkan Tuhan untuk mengetahui
apa yang akan terjadi di masa mendatang, melalui vision, mimpi, maupun getaran
hati nurani. Semua itu dapat merupakan petunjuk Tuhan. Maka tidak aneh apabila
di masa silam nenek moyang kita, para leluhur bumi nusantara yang memperoleh
kawaskitan, kemudian menuangkannya dalam berbagai karya sastra kuno berupa;
suluk, serat, dan jangka atau ramalan (prediksi). Jangka atau prediksi diterima
oleh budaya Jawa sebagai anugerah besar dari Tuhan, terkadang dianggap sebagai
peringatan Tuhan, agar supaya manusia dapat mengkoreksi diri, hati-hati, selalu
eling-waspadha dan melakukan langkah antisipasi.
PENTINGKAH
GURU SEJATI ?
Peran Guru
Sejati sudah jelas saya paparkan di awal pembahasan ini. Namun demikian
perlu kami kemukakan betapa pentingnya Guru Sejati dalam kehidupan kita
yang penuh ranjau ini. Perahu kehidupan kita berlabuh dalam samudra kehidupan
yang penuh dengan marabahaya. Kita harus selalu eling dan waspadha,
sebab setiap saat kemungkinan terburuk dapat menimpa siapa saja yang lengah.
Guru Sejati akan selalu memberi peringatan kepada kita akan marabahaya yang
mengancam diri kita. Guru Sejati akan mengarahkan kita agar terhindar dari
malapetaka, dan bagaimana jalan keluar harus ditempuh. Karena Guru Sejati
merupakan entitas zat atau energi kebaikan dari pancaran cahaya Illahi, maka
Guru Sejati memiliki kewaskitaan luarbiasa. Guru Sejati sangat
cermat mengidentifikasi masalah, dan memiliki ketepatan tinggi dalam mengambil
keputusan dan jalan keluar. Biasanya Guru Sejati “bekerja” secara
preventif antisipatif, membimbing kita agar supaya tidak melangkah menuju
kepada hal-hal yang akan berujung pada kesengsaraan, malapetaka, atau musibah.
ANASIR
ASING
Konsep
tentang guru sejati sebagaimana ajaran Jawa, dapat ditelusuri melalui konsep sedulur
papat lima pancer, dalam konsep pewayangan yang makna dan hakikatnya dapat
dipelajari sebagaimana tokoh dalam Pendawa Lima (lihat dalam tulisan Pusaka
Kalimasadha). Namun demikian, dalam perjalanannya mengalami pasang surut dan
proses dialektika dengan anasir asing yakni; Hindu, Budha, Arab. Leluhur bangsa
kita memiliki karakter selalu positif thinking, toleransi tinggi, andap
asor. Sehingga nenek moyang kita, para leluhur yang masih peduli dengan
kearifan lokal, secara arif dan bijaksana mereka tampil sebagai penyelaras
sekaligus cagar kebudayaan Jawa. Setelah Islam masuk ke Nusantara, ajaran
Kejawen mendapat anasir Arab dan terjadi sinkretisme, sedulur papat keblat
kemudian diartikan pula sebagai empat macam nafsu manusia yakni nafsu lauwamah
(biologis), amarah (angkara murka), supiyah (kenikmatan/birahi/psikologis), dan
mutmainah (kemurnian dan kejujuran). Sedangkan ke lima yakni pancer diwujudkan
dalam dimensi nafsu mulhimah (sebagai pengendali utama atau tali suh
atas keempat nafsu sebelumnya. Konvergensi antara Kejawen dengan tradisi Arab
disusunlah klasifikasi sifat-sifat nafsu jasadiah di atas dengan diaplikasikan
ke dalam lambang aslinya yakni tokoh wayang; 1. Lauwamah = Dosomuko, 2. Amarah
= Kumbokarno, 3. Supiyah = Sarpo Kenoko, 4. Mutma’inah = Gunawan Wibisono.
Sumber: SEJATINYA GURU SEJATI « sabdalangit's web Membangun Bumi Nusantara yang Berbudi Pekerti
Luhur.htm