Halaman

Jumat, 22 Maret 2013

Werkudara (4)

Antareja, tumbal sebuah rekayasa kemenangan

Seorang yang perkasa tentu bakal menghasilkan keturunan yang perkasa pula bila dia berada dalam jalan lurus dan benar.

Adalah anak anak Werkudara yang menambah tinggi derajat sang ayah. Ketiga anaknya sungguh ksatria yang luar biasa, memiliki kesaktian tiada tara. (Dalam versi India anak Bima hanya Gatotkaca, sementara dua anak lainnya yaitu Antareja dan Antasena hanya ada di pewayangan Jawa).

Si Sulung Antareja dari Nagagini putri Batara Anantaboga, dewa bangsa ular. Perkawinan antara Bima dengan Nagagini terjadi setelah para Pandawa selamat dari jebakan istana kardus yang diskenariokan untuk memusnahkan para Pandawa oleh Kurawa dengan otak di belakang layar siapa lagi kalau bukan Sengkuni. (baca kisah Bale Sigala gala)

Menurut serat Pustakaraja, Antareja adalah nama Antasena setelah dewasa, namun menurut Purwacarita dan Purwakanda disebutkan bahwa Antareja adalah anak sulung Bima, sedangkan Antasena adalah anak bungsunya. Untuk sekarang sekarang ini, para dalang cenderung untuk membedakan antara tokoh Antareja dan Antasena, termasuk juga yang menggunakan gagrak Surakarta.

Sejak kecil Antareja tidak tinggal bersama ayahnya, melainkan tetap di kahyangan Saptapratala bersama ibunya Nagagini dan kakeknya Hyang Antaboga.

Antareja memiliki kesaktian yang luar biasa. Semburan ludahnya yang mengandung bisa mampu menewaskan siapa saja yang terkena. Bahkan tanah bekas telapak kaki orang yang kemudian dijilatnya dapat menyebabkan yang mempunyai tapak kaki akan tewas seketika. Selain itu Antareja dapat juga menghidupkan orang mati, jika memang garis ajalnya belum saatnya. Kemampuan ini adalah khasiat dari air suci Tirta Amerta yang dimilikinya, hadiah dari kakeknya. Dalam lakon Sembadra Larung, ia menghidupkan kembali Wara Subadra yang telah mati dibunuh Burisrawa. (Baca kisah Antareja takon Bapa atau Sumbadra Larung)

Ketika masih bayi Antareja pernah diadu melawan raja Jangkarbumi bernama Prabu Nagabaginda. Sebelum bertarung, Antareja lebih dulu dilumuri air liur oleh kakeknya sehingga tubuhnya menjadi licin dan kebal. Dalam pertarungan ini Antareja menang, sehingga Kerajaan Jangkarbumi menjadi miliknya. Walaupun demikian, hampir sepanjang hidupnya ia tinggal bernama kakeknya di Kahyangan Saptapertala.
Hidup Antareja berakhir tragis ! Kematiannya disebabkan karena menjilat bekas tapak kakinya sendiri. Semua ini adalah rekayasa Kresna dalam rangka mensukseskan kemenangan Pandawa dalam perang Baratayuda sekaligus menyelamatkan kakaknya Baladewa.

<<< ooo >>>

Kisah ini terjadi dalam lakon Kresna Gugah, menjelang perang Baratayuda pecah.

Diceritakan, ketika itu di Kahyangan Jonggiri Kaelasa atau Jonggring Salaka, Batara Guru sedang bersidang menetapkan siapa saja yang masuk dalam agenda perang Baratayuda.

Batara Panyarikan dengan pena ditangan dan tinta dihadapannya menulis skenario apa yang dikatakan oleh Sang Jagad nata.

Telah ditulisnya sabda dari Batara Guru, dari awal skenario:

Raden Utara dan Salya bertanding , Utara terbunuh oleh Prabu Salya.

Raden Wratsangka bertanding dengan Resi Durna, Wratsangka terbunuh oleh Resi Durna.

Raden Rukmarata terbunuh oleh panah Resi Seta.

Resi Bhisma perang tanding dengan Resi Seta dan terbunuh oleh Resi Bhisma, dan seterusnya.

Ketika sampai pada kalimat Prabu Baladewa tanding dengan Antareja dan hendak ditulisnya kedalam daftar skenario, tumpahlah tinta dihadapan Batara Panyarikan ditabrak seekor kumbang penjelmaan Sang Sukma Wicara, sukma dari Batara Kresna yang sedang memata-matai bagaimana Baratayuda tergelar. Gagallah kalimat itu dituliskan.

Marahlah Sang Girinata, ditangkapnya kumbang itu, seketika berubah menjadi Sukma Wicara.

“Heh Kaki Kresna. . ! kenapa kamu sebagai titahku menggagalkan usahaku dalam menulis naskah ini?” tanya Batara Guru.

“Duh Pukulun, jujur saja, rasa sayang hamba terhadap kakak kandung hamba Prabu Baladewa-lah yang menyebabkan hamba menggagalkan alur kejadian Baratayuda itu. Bukanlah tandingannya bila kakak hamba diadu dengan Antareja” Jawab Sukma Wicara.

“Baik, adakah sesuatu yang dapat kamu berikan menjadi pengganti terhadap jalan cerita Baratayuda dan dapatkah kamu memberikan jalan cerita yang lain sehingga hal yang kamu tidak sukai itu dapat terhindar?” sahut Batara Guru.

“Pukulun, saya rela menukarnya dengan pusaka andalan hamba Kembang Wijayakusuma, sangatlah adil dan berharga nyawa kakak hamba bila dibandingkan dengan kembang yang merupakan penghidupan orang yang belum dalam pepasti akhir hidup, pukulun” demikian Sri Kresna menawarkan taruhan atas nyawa sang kakak dengan pusaka yang merupakan warisan dari Sang Guru, Resi Padmanaba.

“Dengan penyerahan ini Pukulun, maka dirasa akan menjadi adil perang itu karena hamba tidak dapat lagi menghidupkan kawan yang telah terbunuh” Tambah Sri Kresna seraya menghiba atas kearifan Sang Jagat Nata.

“Sedangkan bagaimana caranya agar kakak hamba Kakrasana agar tidak ikut dalam perang Baratayudha kelak serahkan kepada hamba” Kresna meneruskan.

Demikianlah, setelah barter terjadi dan Sukma Wicara telah diberitahu bagaimana jalan cerita dituliskan dalam Jitapsara maka pulanglah Sang Sukma kembali ke menuju raganya.

Setelah itu, Kresna membuat rekayasa kepada kakaknya Baladewa dan Antareja. Baladewa berhasil “disingkirkan” dari perang Baratayuda dengan kewajiban bertapa untuk menebus dosa-dosa yang telah dilakukannya (yang juga atas rekayasa Kresna) di Grojokan Sewu dengan ditemani oleh Setyaka, anak dari Kresna.

Bagaimana dengan Antareja? Solusinya adalah …. dipanggilnya Werkudara,
“Sena, Baratayuda nanti akan terlaksana. Setujukah yayi akan hal ini, termasuk syarat srana yang harus ditempuh agar Pandawa unggul dalam perang?”
“Setuju, apapun syarat nya” sahut Werkudara.
“ Nah, syarat itu berujud tumbal berrupa anakmu Antareja, bila dia masih ada, maka Baratayuda yang berupa perang suci tempat para manusia mengunduh apa yang mereka tanam dan sarana meluwar segala janji, akan gagal. Tidak ada seorangpun yang dapat menandingi kesaktian anakmu yang satu itu”

Seketika itu sang Bhima berbalik tidak setuju. Dengan segala cara bujuk rayu dan pemberian pengertian akhirnya dengan berat hati Bima mengerti dan merelakan anaknya sebagai tumbal akan kejayaan Pandawa.
Segera dipanggilnya Antareja. “Antareja, sudahkan kamu siap menjadi senapati dengan akan berlangsungnya perang besar nanti?” Seberapa kesaktian yang kamu punyai untuk membuat jaya trah-mu?
“Sudah siap uwa, kami bersedia untuk memberi bukti akan kesaktian putramu ini” Antareja mantap menjelaskan.
“Baik ikutlah aku, jilatlah tapak kaki yang aku tunjuk” perintah Kresna.

Segera Sri Kresna menunjuk bekas tapak kaki disuatu tempat yang sudah ditandainya. Gugurlah seketika sang Anantareja setelah menjilat tapak yang tercetak di tanah, yang ternyata bekas telapak kakinya sendiri.
Sungguh tragis ! Perang memang tidak adil !!!

Sumber: Werkudara (4) _ wayangprabu.com.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar