Akan saya mulai cerita ini dengan kata “manusia”, ada sebuah
potongan kalimat yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling
sempurna, mengapa dikatakan demikian? kalau jawabannya karena manusia mempunyai
akal dan nafsu saya rasa mereka yang masih kecil pun tahu jawabannya. Ya,
mungkin cerita ini bisa membantu anda untuk memahami di mana letak kesempurnaan
manusia yang sesungguhnya.
Ada sebuah ikrar yang pernah kita ucapkan di hadapan sang
pencipta, “SAYA SANGGUP” seperti itulah kata-kata yang mungkin sebagian besar
dari manusia sudah lupa bahwa ketika berada di alam rahim kalimat itu pernah
lantang diucapkan di hadapanNya. Maka lahirlah kita ke alam dunia, masih dalam
hitungan detik saja berada di alam dunia mereka para bayi langsung menyesal,
andai mereka bisa berbicara mungkin mereka akan berteriak “waduh gusti kok
semrawut ngeten ndunyoe panjenengan, njenengan pendhet male pun gusti” hahaha,,
Terlambat sudah, kita saat ini tengah terjebak dalam sebuah medan perang di
mana perangnya tak kunjung usai dan musuhnya tak akan pernah habis karena
lawannya adalah bagian dari diri kita masing-masing, dan saya yakin di dasar
hati anda sekalian ada rasa rindu untuk kembali kepada rumah asal anda yaitu
tempat di mana sebelum kita ditiupkan ke dalam rahim ibunda kita. MATI?? Tenang
saja, tidak ada kata mati untuk manusia, karena apa, karena kita telah berjanji
dengan kalimat “SAYA SANGGUP” sanggup untuk mengembalikan apa yang telah
dititipkan kepada kita. Titipan itulah yang akan menjadi topik untuk cerita
ini.
”selalu
asah dan arahkan mata pedang, karena selama di dunia perang ini tak akan ada
habisnya”
satu per satu seiring dengan berkembangnya akal dan nafsu
kita, tabir atau hijab telah menutupi hingga menghilangkan setitik cahaya yang
seharusnya menjadi alat penerang untuk dapat kembali pulang. Keadaan itu justru
tidak membuat kita bangkit menyibak satu per satu tabir itu namun sebaliknya
justru kita semakin larut dan menjadikan akal dan nafsu kita sebagai alat
penuntun kita. Kita menganggap bahwa dunia inilah tujuan akhir perjalanan kita,
maka sebagian besar dari manusia berlomba untuk dapat menguasai dunia ini,
padahal sudah jelas dikatakan oleh ajaran apa saja bahwa tujuan utama dari
manusia “seharusnya” adalah kembali kepada Tuhannya.
“Jangan
jadikan apa yang ada di dunia ini sebagai penghalang kita menuju keabadian,
tapi jadikanlah apa yang ada di dunia ini menjadi pemacu kita menuju
keabadian”.
Ambillah sebuah pena kemudian sentuhkan ujungnya ke
permukaan kertas, pasti akan terbentuk sebuah titik, dari titik itu terserah
akan kita jadikan gambar dan bentuk apa goresan pena itu. kira-kira seperti
itulah gambaran tentang titik yang terdapat dalam diri manusia. Ketika
seseorang telah mengenal titik itu, apapun mampu ia raih, karena bukan ia yang
mengejar tapi apa-apa yang ada di dunia inilah yang senantiasa mengejar ia.
Mari bersama kita sibak satu persatu tabir yang menutupi jalan kita menuju
keabadian, tabir yang terbentuk oleh akal dan nafsu kita, tabir yang mulanya
ada maka pada akhirnya harus tidak ada.
“Berawal
dari sebuah titik, maka akan berakhir pada sebuah titik pula”
Di manakah sebenarnya letak titik ba’ itu berada?? Tentu
saja di huruf ba’, hehehe. Sebenarnya titik ba’ adalah perwujudan Ghaib dari
sebuah cahaya, cahaya di atas cahaya. Tanpa kaca mata rahmat, manusia tidak
akan mampu untuk memandang cahayanya. Titik itu berada di dalam diri manusia,
“ing jeroning garbo”(bahasa jawa) yang artinya di dalam rongga dada kita.
Cahaya itu bukanlah cahaya yang besar, jika kita melihat satu bintang di
langit, ya seperti itulah titik itu. Titik itulah yang akan memberi petunjuk,
disebut sebagai guru, ialah guru sejati, disebut sebagai penuntun, ialah yang
akan menuntun menuju jalan yang diridhoi. “Al-Quran teles” (bahasa jawa), yang
artinya petunjuk yang hidup dan wujud. Lalu pertanyaannya, apakah setiap
manusia bisa memiliki titik tersebut?. Saya telah bertanya kepada beberapa
tokoh agama atau sebutannya Kyai, mereka rata-rata menjawab “saya tidak paham
ilmu setinggi itu” ada pula yang tidak mau menjawab dan ada pula yang mejawab
“itu hanya orang tertentu, dan itu hidayah”. Tapi untungnya Dia maha adil,
setiap manusia pasti bisa, syaratnya hanya satu, yaitu “MAU”, mau untuk
menggali, mengejar, dan bersabar.
“Setiap
manusia berhak mendapatkan cahaya itu, asalkan ia mau”
Kemudian mari kita tinjau titik ba’ ini dalam sebuah kalimat
yang tak lagi asing bagi kita, yaitu kalimat “Bismillah”.(maaf, males cari
tulisan arabnya). Yang artinya adalah “Dengan menyebut nama Allah” yang
maknanya adalah, dengan selalu bergandengan, selalu memuji, selalu
rangkulan(kata lagunya Gus Dur) di manapun, kapanpun, dan dalam keadaan apa
saja. Tanpa titik itu kalimat itu tidak akan hidup, tanpa titik itu tidak akan
bisa kita selalu bergandengan dengan Dia, karena sudah jelas, Allah membimbing cahayaNya
sendiri. Namun apabila kalimat Bismillah itu dapat hidup karena titik ba’
tersebut, maka tentu saja rahman dan rahim akan senantiasa mengaliri kehidupan
kita “Bismillaahirrahmaanirrahiim”.
“manusia
pada hakikatnya dikatakan hidup, apabila ia memiliki titik itu di dalam
dirinya”
Sumber: TITIK TERANG _ find the true way
toward the future.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar