Halaman

Senin, 18 Februari 2013

Setitik Cahaya itu Bernama “Ba”

Dikutip dari sebuah kisah perjalanan seorang yang telah memecahkan misteri inti kehidupan

Akan saya mulai cerita ini dengan kata “manusia”, ada sebuah potongan kalimat yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna, mengapa dikatakan demikian? kalau jawabannya karena manusia mempunyai akal dan nafsu saya rasa mereka yang masih kecil pun tahu jawabannya. Ya, mungkin cerita ini bisa membantu anda untuk memahami di mana letak kesempurnaan manusia yang sesungguhnya.

Ada sebuah ikrar yang pernah kita ucapkan di hadapan sang pencipta, “SAYA SANGGUP” seperti itulah kata-kata yang mungkin sebagian besar dari manusia sudah lupa bahwa ketika berada di alam rahim kalimat itu pernah lantang diucapkan di hadapanNya. Maka lahirlah kita ke alam dunia, masih dalam hitungan detik saja berada di alam dunia mereka para bayi langsung menyesal, andai mereka bisa berbicara mungkin mereka akan berteriak “waduh gusti kok semrawut ngeten ndunyoe panjenengan, njenengan pendhet male pun gusti” hahaha,, Terlambat sudah, kita saat ini tengah terjebak dalam sebuah medan perang di mana perangnya tak kunjung usai dan musuhnya tak akan pernah habis karena lawannya adalah bagian dari diri kita masing-masing, dan saya yakin di dasar hati anda sekalian ada rasa rindu untuk kembali kepada rumah asal anda yaitu tempat di mana sebelum kita ditiupkan ke dalam rahim ibunda kita. MATI?? Tenang saja, tidak ada kata mati untuk manusia, karena apa, karena kita telah berjanji dengan kalimat “SAYA SANGGUP” sanggup untuk mengembalikan apa yang telah dititipkan kepada kita. Titipan itulah yang akan menjadi topik untuk cerita ini.

”selalu asah dan arahkan mata pedang, karena selama di dunia perang ini tak akan ada habisnya”

satu per satu seiring dengan berkembangnya akal dan nafsu kita, tabir atau hijab telah menutupi hingga menghilangkan setitik cahaya yang seharusnya menjadi alat penerang untuk dapat kembali pulang. Keadaan itu justru tidak membuat kita bangkit menyibak satu per satu tabir itu namun sebaliknya justru kita semakin larut dan menjadikan akal dan nafsu kita sebagai alat penuntun kita. Kita menganggap bahwa dunia inilah tujuan akhir perjalanan kita, maka sebagian besar dari manusia berlomba untuk dapat menguasai dunia ini, padahal sudah jelas dikatakan oleh ajaran apa saja bahwa tujuan utama dari manusia “seharusnya” adalah kembali kepada Tuhannya. 

“Jangan jadikan apa yang ada di dunia ini sebagai penghalang kita menuju keabadian, tapi jadikanlah apa yang ada di dunia ini menjadi pemacu kita menuju keabadian”.

Ambillah sebuah pena kemudian sentuhkan ujungnya ke permukaan kertas, pasti akan terbentuk sebuah titik, dari titik itu terserah akan kita jadikan gambar dan bentuk apa goresan pena itu. kira-kira seperti itulah gambaran tentang titik yang terdapat dalam diri manusia. Ketika seseorang telah mengenal titik itu, apapun mampu ia raih, karena bukan ia yang mengejar tapi apa-apa yang ada di dunia inilah yang senantiasa mengejar ia. Mari bersama kita sibak satu persatu tabir yang menutupi jalan kita menuju keabadian, tabir yang terbentuk oleh akal dan nafsu kita, tabir yang mulanya ada maka pada akhirnya harus tidak ada.

“Berawal dari sebuah titik, maka akan berakhir pada sebuah titik pula”

Di manakah sebenarnya letak titik ba’ itu berada?? Tentu saja di huruf ba’, hehehe. Sebenarnya titik ba’ adalah perwujudan Ghaib dari sebuah cahaya, cahaya di atas cahaya. Tanpa kaca mata rahmat, manusia tidak akan mampu untuk memandang cahayanya. Titik itu berada di dalam diri manusia, “ing jeroning garbo”(bahasa jawa) yang artinya di dalam rongga dada kita. Cahaya itu bukanlah cahaya yang besar, jika kita melihat satu bintang di langit, ya seperti itulah titik itu. Titik itulah yang akan memberi petunjuk, disebut sebagai guru, ialah guru sejati, disebut sebagai penuntun, ialah yang akan menuntun menuju jalan yang diridhoi. “Al-Quran teles” (bahasa jawa), yang artinya petunjuk yang hidup dan wujud. Lalu pertanyaannya, apakah setiap manusia bisa memiliki titik tersebut?. Saya telah bertanya kepada beberapa tokoh agama atau sebutannya Kyai, mereka rata-rata menjawab “saya tidak paham ilmu setinggi itu” ada pula yang tidak mau menjawab dan ada pula yang mejawab “itu hanya orang tertentu, dan itu hidayah”. Tapi untungnya Dia maha adil, setiap manusia pasti bisa, syaratnya hanya satu, yaitu “MAU”, mau untuk menggali, mengejar, dan bersabar.

“Setiap manusia berhak mendapatkan cahaya itu, asalkan ia mau”

Kemudian mari kita tinjau titik ba’ ini dalam sebuah kalimat yang tak lagi asing bagi kita, yaitu kalimat “Bismillah”.(maaf, males cari tulisan arabnya). Yang artinya adalah “Dengan menyebut nama Allah” yang maknanya adalah, dengan selalu bergandengan, selalu memuji, selalu rangkulan(kata lagunya Gus Dur) di manapun, kapanpun, dan dalam keadaan apa saja. Tanpa titik itu kalimat itu tidak akan hidup, tanpa titik itu tidak akan bisa kita selalu bergandengan dengan Dia, karena sudah jelas, Allah membimbing cahayaNya sendiri. Namun apabila kalimat Bismillah itu dapat hidup karena titik ba’ tersebut, maka tentu saja rahman dan rahim akan senantiasa mengaliri kehidupan kita “Bismillaahirrahmaanirrahiim”.
“manusia pada hakikatnya dikatakan hidup, apabila ia memiliki titik itu di dalam dirinya”

Sumber: TITIK TERANG _ find the true way toward the future.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar