Kyai Lurah Semar Badranaya
adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh
ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam
pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama
Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang
berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.
Sejarah
Semar
Menurut
sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam
karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam
bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi
Sukuh yang berangka tahun 1439.
Semar
dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa
dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut
saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang
tegang.
Pada
zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa,
pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang
dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat
dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli
budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih
tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak dari pada
dalam kisah Sudamala.
Dalam
perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga
Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat
jelata biasa, melainkan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja
para dewa.
Asal-Usul
dan Kelahiran
Terdapat
beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut
tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.
Dalam
naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang
Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang
Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun
diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan
kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi
pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam
naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari
Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang
putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir
sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria.
Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan
Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat
Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada
Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya
diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal
golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham
memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar.
Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan
berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki
Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para
dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam
naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang
putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba.
Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba.
Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa
hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang
Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh
berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya
diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar
Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya
ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai
penasihat Batara Guru.
Dalam
naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi
Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur
yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu
sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur.
Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang
diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan
yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan
Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan.
Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap
gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya
robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan
gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati beberapa hari seluruh
bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia
keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang
Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun
dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai
raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia.
Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
Keistimewaan
Semar
Semar
merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya
sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata.
Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa
hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua,
dan yang satunya adalah Semar.
Semar
dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi
Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata.
Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga
biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa.
Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli
apapun judul yang sedang dikisahkan.
Dalam
pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog
sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat
mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka.
Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi,
apabila para pemerintah – yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar –
mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang
dipimpinnya pasti menjadi negara yang unggul dan sentosa.
Sumber : TITIK TERANG _ find the
true way toward the future.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar