PAGI
ini seluruh keluarga Pandawa berduka. Tadi malam salah satu putra terbaik,
Gatutkaca anak Bima tewas di medan perang. Tungku pembakaran jasadnya masih
mengepulkan asap, membubung tinggi ke angkasa. Baranya bahkan belum padam.
Wewangian merebak dan semua menundukkan kepala. Mungkin aku satu-satunya yang
tidak menangis karena bagiku tak ada yang perlu ditangisi. Dia mati dengan
hebat, bertempur dengan ksatria yang sama sekali bukan tandingannya, Karna Adipati
Awangga, sulung Pandawa yang dibuang ibunya dan memilih bergabung dengan
Kurawa. Aku tahu semua alasannya, jadi mengapa kini semua berlomba mengucurkan
air mata. Satu-satunya yang berhak menangis adalah Pergiwa, istri Gatutkaca.
Dia tidak pernah tahu untuk apa suaminya mati. Dan jika ada orang kedua yang
pantas meratapi kematiannya, maka itu adalah aku karena aku yang melahirkannya.
Aku
tidak akan lupa anakku lahir menderita. Tali pusatnya tidak terpotong oleh
senjata apa pun. Semua keris dan panah terhebat Arjuna, bahkan senjata Cakra
Kresna seakan-akan tak memiliki tuah apa-apa. Hanya ada satu senjata yang
mampu, pusaka Wijayandanu yang dikuasai Karna. Saat itu Kresna, kiblat Pandawa,
berkata, sesungguhnya Wijayandanu adalah hak Arjuna. Merebutnya dari tangan
Karna bukanlah sebuah kesalahan. Kakak beradik itu segera terlibat pertarungan
sengit. Arjuna hanya berhasil merebut sarung pusaka. Peristiwa itu membuatku
percaya bahwa ada garis yang telah ditentukan untuk pilihan-pilihan manusia
karena sarung pusaka yang sama sekali tidak tajam itu mampu mengakhiri
penderitaan anakku, memotong tali pusarnya dan segera lenyap sesudahnya. Aku
tak peduli, hanya melihat ia menjadi bocah kecil, lengkap dengan senyum
kanak-kanaknya.
Nasib
yang membawanya ke jalan yang lain, sama sekali bukan pilihanku tapi apa daya.
Ia terpilih menjadi pembela dewa-dewa di kahyangan. Pracona dan Sekipu,
raksasa-raksasa buas itu menyerang kahyangan membuat dewa kalang kabut. Anakku
terpilih untuk menghadapi mereka. Permainan apa lagi ini?
Sebagai
bayi, anakku memang istimewa. Tubuhnya kukuh mewarisi kekuatan bapaknya. Dan
kudengar, saat bertarung dengan raksasa-raksasa itu, taring-taring tajam mereka
tak berarti bagi tubuh Gatutkaca.
Aku tidak mau melawan bayi. Jadikan
tubuhnya sebanding dengan kami.
Raksasa-raksasa
itu meminta dan dewa yang menentukan. Sekali lagi anakku tak punya pilihan.
Tubuh mungilnya dilemparkan ke lautan api Candradimuka. Sekian puluh pusaka
kahyangan menyertainya, melebur dalam tubuh. Beberapa saat kemudian ia muncul
dari kobaran api. Sesosok pemuda usia belasan yang kemudian membantai Pracona,
raja raksasa penyerang kahyangan.
Arimbi istriku, sayang sekali kau
tidak menyaksikan kehebatan anakmu. Sebagai ayah, kebanggaanku tak terkira.
Bima
mengantarkan anakku sekembali dari kahyangan dengan bangga. Sesosok bayi
dipisahkan dari susuanku dan pulang sebagai seorang remaja yang tak pintar
berkata-kata. Kebanggaan apa yang aku miliki? Tak tahukah mereka bahwa aku
masih ingin menggendong dan meninabobokan sebelum tidur dengan lagu anak-anak,
mengajari berjalan dan menyuapi dengan riang. Kini anakku pulang dengan sorot
mata yang asing. Aku tak akan kuat lagi membimbing tangannya dan bahkan
tubuhnya pun telah setinggi ayahnya. Kumisnya melintang, dadanya bidang lengkap
dengan bulu lebatnya. Namun ayahnya tidak pernah mau tahu kalau matanya tetap
mata seorang bocah. Dia bahkan tak mengenaliku sebelum ayahnya mengatakan bahwa
aku ibunya. Neraka meledak di kepalaku saat ia bertanya apa itu seorang ibu.
Waktu
berjalan cepat dan ia segera menjadi ksatria paling setia di keluarga Pandawa.
Semua orang menyayangi, merasa lebih berhak atas hidupnya dan selama itu pula
aku hanya bisa menjadi penonton. Anakku menjadi milik semua orang, milik sekian
ratus ribu prajurit yang merasa bangga dipimpin olehnya. Ia milik Pandawa yang
telah memiliki rencana besar akan masa depannya. Betul. Jika dia ada di Amarta.
Namun saat dia pulang dan berkumpul dengan saudara-saudaranya? Antareja dan
Antasena dengan keriangan mereka bercanda di halaman, memanjat pohon beringin
yang ditanam Trembaka, ayahku, sementara Gatutkaca hanya mengawasi dari
kejauhan. Dalam tubuh kekarnya, aku merasakan jiwa kecil yang memberontak
karena ia tidak pernah mengalami masa-masa indah sebagaimana
saudara-saudaranya. Ia tidak pernah bergulat di kubangan, naik rakit batang
pisang di kali kotor, menangkap capung atau sekadar kejar-kejaran. Dalam
hidupnya tak ada sejarah layang-layang daun gadung, topeng tempurung atau
sekedar perang-perangan. Ia hanya mengenal perang yang sesungguhnya, yang
menjadikan nyawa sebagai taruhannya.
Aku pernah menanyainya suatu kali.
Anakku, apakah kau ingin memanjat
pohon beringin itu? Yang ditanam oleh kakekmu?
Mereka tidak mengajakku.
Tapi kau boleh.
Tak ada jawaban.
Kau ingin menangkap capung?
Terlalu mudah bagiku.
Anakku
mungkin memiliki pohon dan capung sendiri. Ya, di balik dada anakku yang bidang
terdapat sayap pemberian dewa. Ia tak perlu memanjat untuk berkenalan dengan
angkasa. Ia bebas pergi ke mana saja. Seperti burung elang, ia adalah penguasa
di udara, tapi ia tetap tidak bisa bermain di sana. Segalanya terlewat begitu
saja tanpa pernah tahu siapa yang telah merampasnya. Ia tidak pernah tahu harus
bagaimana, di mana dan seperti apa. Tak tersediakah sekejap waktu untuk
mengenalkannya pada apa itu senang, apa itu indah, apa itu duka? Biarlah ia
tidak bergulat di kubangan. Ia tidak harus bermain layang-layang. Aku hanya
ingin anakku menjadi seorang manusia.
Satu-satunya
peristiwa yang membuatku bangga adalah saat dia jatuh cinta. Saat itulah aku melihatnya
sebagai manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dalam sebuah
perjalanan ia berjumpa Pergiwa, seorang putri gunung anak seorang pertapa.
Hatinya berbunga. Belum lagi mengerti apa yang sesungguhnya sedang ia alami,
kekecewaan menderanya dengan kejam saat tahu bahwa gadis itu telah dijodohkan
dengan Lesmana anak Duryudana Raja Hastina. Pergiwa telah merampas hatinya dan
ia tak tahu harus berbuat apa selain terbang setinggi mungkin, menukik ke bukit
cadas dan menghantamkan tubuhnya di bebatuan. Bukan tubuhnya yang hancur
melainkan batu-batu yang pecah dan longsor ke bawah, mendebam bergemuruh
menggempakan bumi.
Aku
berterima kasih pada Kresna yang telah mengajarinya menjadi seorang laki-laki,
mencuri pujaan hatinya, menikahi Pergiwa, dan dengan segera memberiku seorang
cucu yang mewarisi kegagahannya, Sasikirana. Dua tahun berikutnya adalah masa
terindah dalam hidupku. Setelah itu aku tidak boleh berharap terlalu banyak
karena ia telah kembali pada kesediakalaannya. Hari-harinya adalah pertempuran,
isi kepalanya adalah segala persoalan tentang bagaimana memikirkan taktik
perang, memadamkan pemberontakan, memimpin pasukan ke negara seberang untuk
memperluas jajahan.
Tubuh
dan pikirannya sedang dibangun oleh Kresna -siapa lagi kalau bukan dia- demi
menyambut Baratayuda, perang besar di
Kurusetra. Kurawa dipenuhi orang-orang kuat berilmu tinggi dan Pandawa harus
mempersiapkan segalanya mulai sekarang atau tidak sama sekali. Semua orang,
bahkan aku percaya bahwa taktik Kresna adalah yang terbaik.
Hidup
anakku diatur oleh Kresna. Bahkan peristiwa Tunggarana, sebuah tanah perbatasan
antara Pringgandani dan Trajutrisna yang diperebutkan oleh Boma dan Gatutkaca,
menurutku adalah perbuatan Kresna juga. Tanah gersang yang tidak seberapa luas
itu mendadak melambung nilainya menjadi sebuah pertaruhan harga diri, sebuah
persaingan antara Boma dan Gatutkaca. Keduanya merasa berhak atas Tunggarana
dan rupanya kata-kata tak pernah cukup. Tak ada lain, pertarungan menjadi
jawaban. Orang-orang beranggapan Boma akan menang karena ia adalah anak Kresna.
Tetapi kenyataan berbicara lain. Gatutkaca menang dan Boma tersingkir. Bagiku
bukan Gatutkaca yang menyingkirkannya melainkan Kresna sendiri. Kresna hanya
ingin tahu sampai di mana kemampuan anakku sehingga harus dicarikan lawan yang
seimbang. Boma sangat pantas untuk itu. Mengenai hubungan bapak anak itu,
sedikit pun aku tidak percaya bahwa Kresna akan mengakui Boma sebagai darah
dagingnya, karena sesungguhnya ia tak lebih dari aib seorang raksasa yang
dengan licik telah memperkosa istrinya. Aku semakin yakin akan hal itu karena
setelah peristiwa tewasnya Samba anak Kresna yang lain oleh Boma, pada akhirnya
tangan Kresna sendiri yang mengakhiri hidup Boma dengan senjata Cakra.
Selanjutnya
Pringgandani menjadi ujung tombak Amarta. Semua rakyat kami adalah
ksatria-ksatria raksasa yang akan dengan mudah menyerahkan hidupnya untuk
kemuliaan pemimpin-pemimpin mereka. Mereka percaya telah ditakdirkan memiliki
derajat lebih rendah dibanding manusia sehingga satu-satunya cara untuk
menegaskan keberadaan adalah dengan mengabdi pada manusia, pada Pandawa. Dengan
begitu, aku sama sekali tak heran jika kami selalu berada di garis terdepan
pada setiap pertempuran. Tak terhitung lagi korban, tak terasa lagi pedihnya
kehilangan karena semua telah menjadi keseharian. Tak terkecuali perang ini,
Baratayuda, perang yang bagiku hanya demi menagih janji beberapa gelintir
orang. Nyatanya, Kurusetra menjadi ladang pembantaian dan seperti pemulung
beruntung, ajal memungut segalanya.
Tadi malam Kresna menyelinap ke
peraduan Gatutkaca. Telingaku terlalu tajam untuk melewatkan percakapan mereka.
Anakku, seberapa besar kau mencintai
Pandawa?
Sebesar hormatku padamu.
Jika kuminta nyawamu malam ini?
Kau lebih tahu harga yang pantas
untuk itu.
Kemenangan Pandawa.
Tunjukkan jalanku.
Aku
segera tahu bahwa pasukan Awangga yang dipimpin Karna menyerang pada malam
hari. Meski kami telah sepakat untuk berperang hanya pada siang hari, mulai
matahari timbul dan berhenti pada saat tenggelam, rupanya perang adalah perang
yang sejak dulu hanya mementingkan tujuan, menghancurkan musuh dengan cara apa
pun. Maka malam itu, Kurusetra segera merona oleh ribuan obor. Keringat dan
darah belum lagi kering, tapi seburuk-buruk kenistaan seorang ksatria adalah
menolak tantangan. Pasukan Pringgandani segera bersiap, mengasah taring
masing-masing, memburu musuh Pandawa.
Mengapa
harus anakku? Wijayandanu di tangan Karna adalah senjata pemusnah terhebat.
Jangankan manusia, dewa pun tak akan sanggup. Sebuah rahasia yang samar-samar
kudengar, senjata itu akan membunuh Arjuna, adik iparku yang paling disayang
oleh Kunti ibu mertuaku. Tapi Kresna memiliki rencana lain. Harus ada yang
dikorbankan sebelum Karna bertemu dengan Arjuna. Nyatalah bahwa sebenarnya tak
ada lagi kesempatan bagi Gatutkaca. Ia hanya sekeping mata uang pembeli
kemenangan Pandawa. Karna sama sekali bukan tandingannya. Dan aku tahu, saat
bintang-bintang berjatuhan dari langit, Wijayandanu telah menemukan sarungnya,
tenggelam di tubuh Gatutkaca. Anakku telah mengepakkan sayap kecilnya, terbang
di sela-sela bintang, memungutinya seperti kerang. Tubuhnya digulung mendung,
seperti Antareja dan Antasena yang bergelut di kubangan. Ia menukik ke bumi,
tapi kali ini tanpa bayangan Pergiwa yang dulu membuatnya bertindak serupa.
Tubuhnya membelah malam, menghantam kereta kuda Karna. Aku melihat senyum
terakhirnya.
Pagi
ini aku menyelinap ke benteng Kurawa untuk menemui Karna. Kuceritakan padanya
tentang Gatutkaca, anakku yang malang. Mengapa seorang Karna begitu lantang
tertawa setelah menghabisi nyawa seorang bocah yang sama sekali bukan
tandingannya. Ia tersenyum.
Kami hanya sedang bermain.
Kutatap
matanya lekat. Aku tahu bahwa aku telah memaafkannya. Aku segera memeluknya
karena mata itu, ternyata adalah mata Gatutkaca juga. Mata bayi yang hanyut di
sungai air mata ibunya. Kunti, mertuaku.
Sumber: Gugurnya Gatotkaca airmata seorang ibu _ wayangprabu.com.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar