Halaman

Senin, 29 April 2013

Penyebab Kenapa Kaki Dan Ketiak Gampang Geli

Alasan Kenapa Kaki Dan Ketiak Gampang Geli. Ketiak dan telapak kaki hampir sebagian besar orang menjadi bagian tubuh yang paling tidak tahan geli. Kenapa dua bagian ini paling sensitif dan tidak tahan jika digelitik atau disentuh?

Beberapa orang mungkin memiliki bagian sensitif yang berbeda, karena pada titik tersebut menghasilkan refleks geli dengan derajat yang bervariasi atau bahkan tidak sama sekali. Seseorang mungkin memiliki daerah sensitif dimana orang lain tidak merasakan apapun.

Telapak kaki dan ketiak merupakan dua daerah dalam tubuh yang paling sensitif bagi kebanyakan orang. Hal ini karena pada telapak kaki memiliki konsentrasi Meissner's corpuscles yang lebih tinggi. Ujung dari saraf ini akan membuat telapak kaki memiliki kadar geli yang lebih tinggi daripada bagian tubuh lainnya..

Biasanya tempat yang paling geli adalah tempat yang sangat rentan terhadap serangan, setidaknya di sekitar bagian atas tubuh. Pada bagian ketiak mengandung pembuluh darah dan arteri, serta memungkinkan akses leluasa ke jantung karena tulang rusuk sangkar tidak lagi memberikan perlindungan kepada rongga dada di sekitar ketiak.

Hal yang sama juga berlaku pada bagian tubuh yang geli lainnya seperti leher. Karena tidak ada perlindungan dari tulang, maka secara otomatis seseorang akan bereaksi ketika daerah tersebut disentuh oleh orang lain. Sebagai tambahan, saraf reseptor yang dekat dengan permukaan kulit akan membuat sensitifitasnya makin tinggi.

Selain itu, leher juga mengandung bagian-bagian penting. Seperti karotid yang akan memasok darah ke otak serta batang leher yang membawa udara ke paru-paru juga terletak dibagian depan leher.

Peneliti juga menunjukkan bahwa cerebellum (otak kecil), yang merespons sentuhan akan menunjukkan aktivitas yang lebih saat diberi sentuhan yang mendadak dibandingkan dengan sesuatu yang telah diantisipasi. Jika otak sudah bisa mengenali sentuhan yang akan datang, hal ini akan membuat saraf respons tidak terlalu intens. Makanya seseorang tidak akan pernah berhasil menggelitik diri sendiri.

Seseorang yang tertawa saat digelitik dipengaruhi oleh faktor sosial, karena orang akan tertawa jika yang melakukan sentuhan tersebut adalah seseorang yang dekat atau sudah merasa nyaman satu sama lain seperti orang tua, sahabat, atau teman. Namun, jika yang melakukannya adalah orang lain, responsnya bukan tertawa tapi bisa saja menjadi marah

Sumber: detikmaya  

Selasa, 02 April 2013

Jangan Hanya Melihat Ke Atas

Tidak baik jika kita menutup-nutupi kelemahan dan kegagalan dengan banyak alasan. Terimalah, dan hadapilah kegagalan itu sebagai pengalaman dan pelajaran berharga, agar bisa jadi pedoman dan tuntunan untuk mencapai kemajuan dan keberhasilan yang lebih berarti di kemudian hari.

Sahabatku,

Kita tahu bahwa dunia ini selalu berputar. Adakalanya manusia ada di bawah, atau sebaliknya ada di atas. Ada orang bertanya kepada saya, bagaimana dengan kenyataan yang sering kita lihat begitu banyak orang-orang yang selalu di bawah?

Bukankah mereka juga tinggal di bumi yang sama dengan orang-orang yang mampu dan kuat berada di atas? Sering kita lihat orang-orang yang sudah di atas malah semakin ke atas. Temanku, pandangan itu semua hanyalah ironi. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi pada mereka yang sudah ada di atas. Kebanyakan di antara kita melihat mereka yang di atas selalu dari 'materi' atau jabatan.

Namun percayalah, setiap orang mengalami pasang surut. Belajarlah dari orang-orang yang sudah ada di atas, dan orang-orang yang berada di bawah. Jangan hanya melihat ke atas. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari keduanya, yang bisa engkau jadikan bekal tuk menjadi pribadi yang luhur bijaksana, sukses lahir dan batin.

Pepatah mengatakan:

"Kebesaran seseorang tidak terlihat ketika dia berdiri dan memberi perintah. Kebesaran seseorang akan terlihat ketika dia berdiri sama tinggi dengan orang lain, dan membantu orang lain untuk mengeluarkan yang terbaik dari diri mereka untuk mencapai sukses" - Prof. G. Arthur Keough

Janganlah suka cari alasan untuk menutupi kegagalan. Sebaliknya, carilah terus 'cara' untuk menggapai keberhasilan :)

Sumber: Jangan Hanya Melihat Ke Atas | Blogaul

Gugurnya Gatotkaca: airmata seorang ibu


PAGI ini seluruh keluarga Pandawa berduka. Tadi malam salah satu putra terbaik, Gatutkaca anak Bima tewas di medan perang. Tungku pembakaran jasadnya masih mengepulkan asap, membubung tinggi ke angkasa. Baranya bahkan belum padam. Wewangian merebak dan semua menundukkan kepala. Mungkin aku satu-satunya yang tidak menangis karena bagiku tak ada yang perlu ditangisi. Dia mati dengan hebat, bertempur dengan ksatria yang sama sekali bukan tandingannya, Karna Adipati Awangga, sulung Pandawa yang dibuang ibunya dan memilih bergabung dengan Kurawa. Aku tahu semua alasannya, jadi mengapa kini semua berlomba mengucurkan air mata. Satu-satunya yang berhak menangis adalah Pergiwa, istri Gatutkaca. Dia tidak pernah tahu untuk apa suaminya mati. Dan jika ada orang kedua yang pantas meratapi kematiannya, maka itu adalah aku karena aku yang melahirkannya.

Aku tidak akan lupa anakku lahir menderita. Tali pusatnya tidak terpotong oleh senjata apa pun. Semua keris dan panah terhebat Arjuna, bahkan senjata Cakra Kresna seakan-akan tak memiliki tuah apa-apa. Hanya ada satu senjata yang mampu, pusaka Wijayandanu yang dikuasai Karna. Saat itu Kresna, kiblat Pandawa, berkata, sesungguhnya Wijayandanu adalah hak Arjuna. Merebutnya dari tangan Karna bukanlah sebuah kesalahan. Kakak beradik itu segera terlibat pertarungan sengit. Arjuna hanya berhasil merebut sarung pusaka. Peristiwa itu membuatku percaya bahwa ada garis yang telah ditentukan untuk pilihan-pilihan manusia karena sarung pusaka yang sama sekali tidak tajam itu mampu mengakhiri penderitaan anakku, memotong tali pusarnya dan segera lenyap sesudahnya. Aku tak peduli, hanya melihat ia menjadi bocah kecil, lengkap dengan senyum kanak-kanaknya.

Nasib yang membawanya ke jalan yang lain, sama sekali bukan pilihanku tapi apa daya. Ia terpilih menjadi pembela dewa-dewa di kahyangan. Pracona dan Sekipu, raksasa-raksasa buas itu menyerang kahyangan membuat dewa kalang kabut. Anakku terpilih untuk menghadapi mereka. Permainan apa lagi ini?

Sebagai bayi, anakku memang istimewa. Tubuhnya kukuh mewarisi kekuatan bapaknya. Dan kudengar, saat bertarung dengan raksasa-raksasa itu, taring-taring tajam mereka tak berarti bagi tubuh Gatutkaca.

Aku tidak mau melawan bayi. Jadikan tubuhnya sebanding dengan kami.

Raksasa-raksasa itu meminta dan dewa yang menentukan. Sekali lagi anakku tak punya pilihan. Tubuh mungilnya dilemparkan ke lautan api Candradimuka. Sekian puluh pusaka kahyangan menyertainya, melebur dalam tubuh. Beberapa saat kemudian ia muncul dari kobaran api. Sesosok pemuda usia belasan yang kemudian membantai Pracona, raja raksasa penyerang kahyangan.

Arimbi istriku, sayang sekali kau tidak menyaksikan kehebatan anakmu. Sebagai ayah, kebanggaanku tak terkira.

Bima mengantarkan anakku sekembali dari kahyangan dengan bangga. Sesosok bayi dipisahkan dari susuanku dan pulang sebagai seorang remaja yang tak pintar berkata-kata. Kebanggaan apa yang aku miliki? Tak tahukah mereka bahwa aku masih ingin menggendong dan meninabobokan sebelum tidur dengan lagu anak-anak, mengajari berjalan dan menyuapi dengan riang. Kini anakku pulang dengan sorot mata yang asing. Aku tak akan kuat lagi membimbing tangannya dan bahkan tubuhnya pun telah setinggi ayahnya. Kumisnya melintang, dadanya bidang lengkap dengan bulu lebatnya. Namun ayahnya tidak pernah mau tahu kalau matanya tetap mata seorang bocah. Dia bahkan tak mengenaliku sebelum ayahnya mengatakan bahwa aku ibunya. Neraka meledak di kepalaku saat ia bertanya apa itu seorang ibu.

Waktu berjalan cepat dan ia segera menjadi ksatria paling setia di keluarga Pandawa. Semua orang menyayangi, merasa lebih berhak atas hidupnya dan selama itu pula aku hanya bisa menjadi penonton. Anakku menjadi milik semua orang, milik sekian ratus ribu prajurit yang merasa bangga dipimpin olehnya. Ia milik Pandawa yang telah memiliki rencana besar akan masa depannya. Betul. Jika dia ada di Amarta. Namun saat dia pulang dan berkumpul dengan saudara-saudaranya? Antareja dan Antasena dengan keriangan mereka bercanda di halaman, memanjat pohon beringin yang ditanam Trembaka, ayahku, sementara Gatutkaca hanya mengawasi dari kejauhan. Dalam tubuh kekarnya, aku merasakan jiwa kecil yang memberontak karena ia tidak pernah mengalami masa-masa indah sebagaimana saudara-saudaranya. Ia tidak pernah bergulat di kubangan, naik rakit batang pisang di kali kotor, menangkap capung atau sekadar kejar-kejaran. Dalam hidupnya tak ada sejarah layang-layang daun gadung, topeng tempurung atau sekedar perang-perangan. Ia hanya mengenal perang yang sesungguhnya, yang menjadikan nyawa sebagai taruhannya.

Aku pernah menanyainya suatu kali.
Anakku, apakah kau ingin memanjat pohon beringin itu? Yang ditanam oleh kakekmu?
Mereka tidak mengajakku.
Tapi kau boleh.
Tak ada jawaban.
Kau ingin menangkap capung?
Terlalu mudah bagiku.

Anakku mungkin memiliki pohon dan capung sendiri. Ya, di balik dada anakku yang bidang terdapat sayap pemberian dewa. Ia tak perlu memanjat untuk berkenalan dengan angkasa. Ia bebas pergi ke mana saja. Seperti burung elang, ia adalah penguasa di udara, tapi ia tetap tidak bisa bermain di sana. Segalanya terlewat begitu saja tanpa pernah tahu siapa yang telah merampasnya. Ia tidak pernah tahu harus bagaimana, di mana dan seperti apa. Tak tersediakah sekejap waktu untuk mengenalkannya pada apa itu senang, apa itu indah, apa itu duka? Biarlah ia tidak bergulat di kubangan. Ia tidak harus bermain layang-layang. Aku hanya ingin anakku menjadi seorang manusia.

Satu-satunya peristiwa yang membuatku bangga adalah saat dia jatuh cinta. Saat itulah aku melihatnya sebagai manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dalam sebuah perjalanan ia berjumpa Pergiwa, seorang putri gunung anak seorang pertapa. Hatinya berbunga. Belum lagi mengerti apa yang sesungguhnya sedang ia alami, kekecewaan menderanya dengan kejam saat tahu bahwa gadis itu telah dijodohkan dengan Lesmana anak Duryudana Raja Hastina. Pergiwa telah merampas hatinya dan ia tak tahu harus berbuat apa selain terbang setinggi mungkin, menukik ke bukit cadas dan menghantamkan tubuhnya di bebatuan. Bukan tubuhnya yang hancur melainkan batu-batu yang pecah dan longsor ke bawah, mendebam bergemuruh menggempakan bumi.

Aku berterima kasih pada Kresna yang telah mengajarinya menjadi seorang laki-laki, mencuri pujaan hatinya, menikahi Pergiwa, dan dengan segera memberiku seorang cucu yang mewarisi kegagahannya, Sasikirana. Dua tahun berikutnya adalah masa terindah dalam hidupku. Setelah itu aku tidak boleh berharap terlalu banyak karena ia telah kembali pada kesediakalaannya. Hari-harinya adalah pertempuran, isi kepalanya adalah segala persoalan tentang bagaimana memikirkan taktik perang, memadamkan pemberontakan, memimpin pasukan ke negara seberang untuk memperluas jajahan.

Tubuh dan pikirannya sedang dibangun oleh Kresna -siapa lagi kalau bukan dia- demi menyambut  Baratayuda, perang besar di Kurusetra. Kurawa dipenuhi orang-orang kuat berilmu tinggi dan Pandawa harus mempersiapkan segalanya mulai sekarang atau tidak sama sekali. Semua orang, bahkan aku percaya bahwa taktik Kresna adalah yang terbaik.

Hidup anakku diatur oleh Kresna. Bahkan peristiwa Tunggarana, sebuah tanah perbatasan antara Pringgandani dan Trajutrisna yang diperebutkan oleh Boma dan Gatutkaca, menurutku adalah perbuatan Kresna juga. Tanah gersang yang tidak seberapa luas itu mendadak melambung nilainya menjadi sebuah pertaruhan harga diri, sebuah persaingan antara Boma dan Gatutkaca. Keduanya merasa berhak atas Tunggarana dan rupanya kata-kata tak pernah cukup. Tak ada lain, pertarungan menjadi jawaban. Orang-orang beranggapan Boma akan menang karena ia adalah anak Kresna. Tetapi kenyataan berbicara lain. Gatutkaca menang dan Boma tersingkir. Bagiku bukan Gatutkaca yang menyingkirkannya melainkan Kresna sendiri. Kresna hanya ingin tahu sampai di mana kemampuan anakku sehingga harus dicarikan lawan yang seimbang. Boma sangat pantas untuk itu. Mengenai hubungan bapak anak itu, sedikit pun aku tidak percaya bahwa Kresna akan mengakui Boma sebagai darah dagingnya, karena sesungguhnya ia tak lebih dari aib seorang raksasa yang dengan licik telah memperkosa istrinya. Aku semakin yakin akan hal itu karena setelah peristiwa tewasnya Samba anak Kresna yang lain oleh Boma, pada akhirnya tangan Kresna sendiri yang mengakhiri hidup Boma dengan senjata Cakra.

Selanjutnya Pringgandani menjadi ujung tombak Amarta. Semua rakyat kami adalah ksatria-ksatria raksasa yang akan dengan mudah menyerahkan hidupnya untuk kemuliaan pemimpin-pemimpin mereka. Mereka percaya telah ditakdirkan memiliki derajat lebih rendah dibanding manusia sehingga satu-satunya cara untuk menegaskan keberadaan adalah dengan mengabdi pada manusia, pada Pandawa. Dengan begitu, aku sama sekali tak heran jika kami selalu berada di garis terdepan pada setiap pertempuran. Tak terhitung lagi korban, tak terasa lagi pedihnya kehilangan karena semua telah menjadi keseharian. Tak terkecuali perang ini, Baratayuda, perang yang bagiku hanya demi menagih janji beberapa gelintir orang. Nyatanya, Kurusetra menjadi ladang pembantaian dan seperti pemulung beruntung, ajal memungut segalanya.

Tadi malam Kresna menyelinap ke peraduan Gatutkaca. Telingaku terlalu tajam untuk melewatkan percakapan mereka.
Anakku, seberapa besar kau mencintai Pandawa?
Sebesar hormatku padamu.
Jika kuminta nyawamu malam ini?
Kau lebih tahu harga yang pantas untuk itu.
Kemenangan Pandawa.
Tunjukkan jalanku.

Aku segera tahu bahwa pasukan Awangga yang dipimpin Karna menyerang pada malam hari. Meski kami telah sepakat untuk berperang hanya pada siang hari, mulai matahari timbul dan berhenti pada saat tenggelam, rupanya perang adalah perang yang sejak dulu hanya mementingkan tujuan, menghancurkan musuh dengan cara apa pun. Maka malam itu, Kurusetra segera merona oleh ribuan obor. Keringat dan darah belum lagi kering, tapi seburuk-buruk kenistaan seorang ksatria adalah menolak tantangan. Pasukan Pringgandani segera bersiap, mengasah taring masing-masing, memburu musuh Pandawa.

Mengapa harus anakku? Wijayandanu di tangan Karna adalah senjata pemusnah terhebat. Jangankan manusia, dewa pun tak akan sanggup. Sebuah rahasia yang samar-samar kudengar, senjata itu akan membunuh Arjuna, adik iparku yang paling disayang oleh Kunti ibu mertuaku. Tapi Kresna memiliki rencana lain. Harus ada yang dikorbankan sebelum Karna bertemu dengan Arjuna. Nyatalah bahwa sebenarnya tak ada lagi kesempatan bagi Gatutkaca. Ia hanya sekeping mata uang pembeli kemenangan Pandawa. Karna sama sekali bukan tandingannya. Dan aku tahu, saat bintang-bintang berjatuhan dari langit, Wijayandanu telah menemukan sarungnya, tenggelam di tubuh Gatutkaca. Anakku telah mengepakkan sayap kecilnya, terbang di sela-sela bintang, memungutinya seperti kerang. Tubuhnya digulung mendung, seperti Antareja dan Antasena yang bergelut di kubangan. Ia menukik ke bumi, tapi kali ini tanpa bayangan Pergiwa yang dulu membuatnya bertindak serupa. Tubuhnya membelah malam, menghantam kereta kuda Karna. Aku melihat senyum terakhirnya.

Pagi ini aku menyelinap ke benteng Kurawa untuk menemui Karna. Kuceritakan padanya tentang Gatutkaca, anakku yang malang. Mengapa seorang Karna begitu lantang tertawa setelah menghabisi nyawa seorang bocah yang sama sekali bukan tandingannya. Ia tersenyum.

Kami hanya sedang bermain.

Kutatap matanya lekat. Aku tahu bahwa aku telah memaafkannya. Aku segera memeluknya karena mata itu, ternyata adalah mata Gatutkaca juga. Mata bayi yang hanyut di sungai air mata ibunya. Kunti, mertuaku.

Sumber: Gugurnya Gatotkaca  airmata seorang ibu _ wayangprabu.com.htm