"MAN AROFAH NAFSA HU
FA QOD AROFAH ROBBAHU ...
Barang siapa mengenal diri-nafs ruhaninya maka ia mengenal Tuhannya."
Mengenal diri merupakan kunci mengenal Tuhan. Tak ada yang lebih dekat kepada kita kecuali diri kita sendiri. Karena itu, kita harus belajar untuk mengenal diri kita sendiri berangkat dari menyingkap Rahasia Tuhan pada diri-jasad menuju mengenali dan menyingkap Rahasia Allah pada diri-nafs ruhani kita sehingga pada akhirnya kita diizinkan dan dirahmati-Nya untuk mengenal Allah SWT (Ma'rifatullah).
Pernahkan kita bertanya ke dalam diri sendiri:
"Siapakah aku dan dari mana aku datang? Kemana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini? Dan dimanakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan?"
Sudahkah diketahui bahwa ada 4 sifat yang bersemayam dalam diri kita: hewan, setan, malaikat, dan Tuhan. Kita harus bisa menemukannya, mana di antara keempatnya yang aksidental dan mana yang esensial. Jika kita tidak menyingkap rahasia ini, maka tak akan kita temukan kebahagiaan sejati.
Siapakah aku? Dari mana asal-usulku?
Apakah aku dari datang unsur Hewan?
Apakah aku dari datang unsur Setan?
Apakah aku dari datang unsur Malaikat?
Apakah aku dari datang unsur Tuhan?
Kemanakah aku akan pulang nanti setelah diri-jasadku mati?
Apakah aku akan pulang kembali ke unsur Hewan?
Apakah aku akan pulang kembali ke unsur Setan?
Apakah aku akan pulang kembali ke unsur Malaikat?
Apakah aku akan pulang kembali ke unsur Tuhan?
Apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia fana' ini?
Menurut Al-Qur'aan, manusia dihadirkan ke muka bumi ini adalah untuk melaksanakan Tugas dan Misi Hidup dari Allah SWT (Rajanya manusia, Malikin-naas).
Apa TUGAS HIDUP-ku sebagai manusia yang diutus Raja Manusia (Malikin-naas / Allah SWT) ke muka bumi ini?
PERTAMA, menjadi Budak / Pelayan / Hamba / Abdi Allah SWT ('Abdullah, Ibadillah) sesuai firman-Nya:
"Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin-pikiran dan manusia (diri-jasad dan diri-nafs ruhani) melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku."
KEDUA, menjadi Saksi Allah SWT (Syahid-diin, Syuhada) sesuai firman-Nya:
"Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang Shiddiqien (yang mengenal Al-Haqq / Allah SWT dengan Haqq / Benar), yaitu orang-orang yang menjadi Saksi di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan Nuur-Cahaya mereka. Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka." (QS Al-Hadiid 57: 19).
"Dan orang-orang yang tidak memberikan Kesaksian Palsu, dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah (bersaksi-palsu), mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya (yang tidak memberikan Kesaksian Palsu, terhormat di sisi Allah SWT)." (QS Al- Furqaan 25: 72).
"Dan ketahuilah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam (manusia) dari sulbi (tulang ekor) mereka dan Allah mengambil kesaksian (syahadat) terhadap jiwa (diri-nafs ruhani) mereka seraya Dia berfirman: "Bukankah Aku (Yang punya nama / asma "ALLAH") ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Benar, Engkau Tuhan kami, kami menjadi Saksi-Mu." Kami lakukan kejadian yang demikian itu agar di hari dibangkitkan diri-nafs ruhanimu ke dalam diri-jasadmu (terlahir ke muka bumi) nanti kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (manusia) adalah orang-orang yang tidak ingat lagi (lupa) terhadap kesaksian (syahadat) ini", (QS Al-A'raaf 7: 172).
Apa MISI HIDUP-ku dari Malikin-naas (Raja Manusia / Allah SWT)?
Misi Hidup manusia adalah membentuk pribadi Ihsan-Taqwa yang siap menjadi Khalifah Allah SWT (perwakilan Allah SWT) di muka bumi-jasad dan bumi-jagad dengan membawakan "rahmatan lil 'alamiin" memenuhi harapan dan kehendak-Nya:
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah (perwakilan Allah) di muka bumi." (QS Al-Baqarah 2: 30).
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu (diri-nafs ruhani), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam ("rahmatan lil 'alamiin")." (QS Al-Anbiyaa' 21: 107).
Untuk dapat melaksanakan Tugas Hidup dan Misi Hidup kita tersebut di atas, terlebih dahulu kita harus mengenali dan menguasai ke 4 Sifat tersebut.
Caranya:
Sifat Hewan dikenali dan dikuasai dengan Amaliyah / Laku Syari'at;
Sifat Setan dikenali dan dikuasai dengan Amaliyah / Laku Tarikat;
Sifat Malaikat dikenali dan dikuasai dengan Amaliyah / Laku Hakikat; dan
Sifat Tuhan dikenali dan dikaruniakan-Nya kepada hamba yang dikehendaki-Nya dengan Amaliyah / Laku Ma'rifat.
Nabi Besar Muhammad SAW bersabda: "Takhallaqu fi akhlaq Illah ... berakhlaklah engkau dengan akhlak Allah."
Rasulullah Muhammad SAW bersabda, "Setiap anak dilahirkan dengan fithrah (kondisi diri-nafs ruhani yang mengenal Allah Al-Fathir); Orang tua dan lingkungannya kemudian menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (memeluk agama tertentu)."
Setiap manusia, di lubuk terdalam kesadarannya mendengar pertanyaan Tuhannya, "Bukankah Aku ini Tuhamu?" Dan menjawab "Ya, aku menjadi Saksi-Mu." (Lihat Al-Qur'aan Surat Al-'Araaf 7: 172).
Tetapi kebanyakan hati manusia bagaikan cermin yang telah tertutup karat dan kotoran sehingga tidak dapat memantulkan gambaran yang jernih, atau seperti rembulan yang ditutupi gerhana total sehingga tidak dapat menerima dan memantulkan / memancarkan sinar Cahaya Sang Matahari. Berbeda dengan hati para nabi dan wali yang, meski mereka pun memiliki nafsu serupa kita, sangat peka terhadap kesan-kesan Ilahiah.
Sumber: Ayahanda Ridhwanullah
Kamis, 28 Maret 2013
Werkudara (1)
Sosok dan Kiprah Werkudara
Siapa yang tak kenal dengan
Werkudara ?
Ketika
lahir, ia terbungkus. Segala senjata pusaka tak dapat memecahkannya. Ia dibawa
ke tengah hutan Tegrakan. Di sana ia dapat keluar dari bungkusnya karena
dibelah dengan gading seekor gajah yang bernama Sena, yang akhirnya menjanma
kepadanya. Selanjutnya ia diberi nama Sena. Sena dilahirkan di negeri Astina
yang pada waktu itu sedang berperang melawan Prabu Tremboko di negeri
Pringgadani, yang kemudian Prabu Tremboko kalah dan binasa oleh bayi Sang Sena.
Dalam
lakon Bale Sigala-gala, ia mendapat petunjuk dari Dewa, untuk menyelamatkan ibu
dan saudara-saudaranya dengan mengikuti Garanganseta, musang putih malihan
Raden Sanjaya putera dari Sang Widura. Setelah Garanganseta hilang ia sudah
sampai di Kahyangan Saptapratala, kemudian ia kawin dengan Dewi Nagagini, Raja
dan Dewa di Saptapratala, yang akhirnya ia berputra Aria Anantaraja.
Kemudian
Raja raksasa Ekacakra, sang kanibal, Raja Baka pun akhirnya tewas ditangan Sang
Werkudara, yang berakibat kemerdekaan bagi rakyatnya akan kesewenang-wenangan
pemerintahan rajanya, menghilangkan ketakutan menjadi persembahan sang raja
yang doyan daging manusia ! (lakon Bima bumbu)
Dalam
lakon Jagal Bilawa ini dapat membunuh jagoan Sang Kenca dan Kencaka bernama
Rajamala. Juga Sang Kenca dan Kencaka beserta tentaranya yang akan merebut
kekuasaan Kerajaan Prabu Matswapati lebur punah oleh Sang Sena. Sebagai tanda
terima kasih, para Pandawa mendapat hadiah hutan Endraprasta (Babad Pandawa).
Dalam
lakon Kangsa Adu Jago, ia pernah dipinjam oleh Prabu Basudewa, diadu lawan
jagonya Kangsa yang bernama Suratimantra.
Lakon
Pandawa Timbang, ia mempunyai kesaktian dimana beratnya melebihi Kurawa yang
seratus orang itu.
Dalam
cerita Perlombaan Membuat Sungai Serayu antara Pandawa dengan Kurawa, ia
memperoleh kemenangan. Dan kemudian ia kawin dengan Dewi Urangayu putri Resi
Ganggamina, sehingga berputera Aria Anantasena.
Serta banyak lagi kisah heroik Sang
Bima yang membesarkan namanya.
Siapakah dasanama Sang Pahlawan ini
?
Menurut
Hatmasaputra (1967) dalam bukunya yang berjudul „Caking Pakeliran Wayang Purwa‟ dijelaskan arti nama Werkudara.
Sena, artinya dahsyat, maksudnya
seorang yang segala-galanya serba mendahsyatkan.
Dwijasena, artinya Dwija = Brahmana
yang memberi pelajaran ilmu lahir dan batin, maksudnya ia adalah guru yang tak
ada bandingannya.
Bilawa, artinya besar dan tinggi
(luhur). Nama ini dipakai pada waktu menyamar di negeri Wirata.
Bharatasena, artinya keturunan
Bharata yang amat dahsyat tiada taranya di dalam segala hal.
Bima, artinya gagah perkasa. Memang
ia adalah gagah perkasa.
Werkudara, artinya werka = anjing
hutan dan udara = perut. Maksudnya perutnya sangat kuat seperti perut anjing
hutan.
Kowara, artinya termashur, memang
namanya sangat mashur.
Nagata, artinya nyata. Ia
berpendirian kepada kebenaran dan kenyataan serta sangat bersahaja.
Kusumadilaga, artinya kusuma = bunga
bangsa (ksatria), di = lebih/baik, laga = perang. Maksudnya ksatriya yang ahli
tentang peperangan.
Bayusuta, artinya bayu = kekuatan
suta = anak, maksudnya ia terbilang putera Bayu.
Kusumayuda, artinya yuda = perang,
maksudnya bintang medan perang.
Birawa, artinya Besar dan
menakutkan.
Gandawastratmaja, Gandawastra adalah
sebutan Sang Pandudewanata, atmaja = anak, maksudnya putera Pandu.
Dandun, artinya teguh atau
bertanggung jawab, Maksudnya teguh hati dan konsekwen.
Wayuninda, artinya Wayu (Bayu) =
kekuatan, ninda = angin, maksudnya mempunyai prebawa angin (tanda bayu).
Jayadilaga, artinya jaya = unggul,
di = amat/lebih/baik, laga = perang, maksudnya dipeperangan selalu mendapat
kemenangan.
Wijayasena, artinya wija =
wijang/pilah/pilihan/dibawah/terpendam; Sena = dahsyat, maksudnya ksatria yang
pendiriannya mendahsyatkan.
Sumber: Werkudara (1) _
wayangprabu.com.htm
Werkudara (2)
Dalam
lakon Babad Mertani, dialah sebagai pelopornya membabat sehingga akhirnya ia
mendapat negeri Jodipati. Kerajaan Dandun dan nama itupun dipakainya pula,
karena Dandun tersebut menitis kepadanya.
Meskipun
masih muda, ia telah menuntut ilmu kesempurnaan. Dengan petunjuk dari
Pendeta Drona, ia dapat menggapai air suci tirta pawitra mahening suci,
tersebut dalam lakon Dewa Ruci, semua karena kesentosaan semangat dan jiwa
berbaktinya.
Dalam
lakon Pandawa Papa, ia dapat membela Sang Irawan yang akan dimakan oleh Prabu
Bakayaksa, Raja Raksasa itu dapat dibunuhnya. Sebagai balas budi. Irawan
sanggup menjadi korban agar dalam Baratayuda Pandawa mendapatkan kemenangan.
Dalam
lakon Partakrama, ia mencari sasrahan yang sangat berat, ialah berupa banteng
sejumlah 40 ekor yang digembalakan oleh Jin Dadungawuk dan Mayanggaseta di
padepokan Sendangagung.
Ia
sangat bakti terhadap ibu dan kakaknya. Dalam lakon Dewamambang, ia berkorban
untuk kakaknya, agar tetap bernama Puntadewa dan tetap bersinggasana di Amarta.
Waktu Sang Hyang Utipati menjalankan
hukum yang tidak adil, ia menjadi raja di negeri Gilingwesi bernama Prabu
Tuguwasesa, artinya menjalankan keadilan yang tegak. Ada pula yang menamakan
Tuhuwasesa yang berarti keadilan yang benar atau sejati.
Dalam
lakon Puntadewa Krama, ia berhasil mengalahkan Aria Gandamana yang menjadi
pasanggiri Drupadi. Dan disinilah ia mendapat aji Bandung Bandawasa dari
Gandamana yang mati tertusuk kuku Pancanaka.
Dalam
lakon Lenga-tala, ia dapat merebut kembali dari tangan Kurawa dan ia mendapat
kekebalan karena dimandikan dengan minyak tala pusaka Sang Abiyasa.
Dan
… dalam Baratayuda, ia dapat memusnahkan musuh-musuh yang tak terbilang
banyaknya, diantaranya Bogadenta, Patiweya, Wersaya, Dursasana, Sangkuni,
Duryudana dan waktu membunuh Dursasana, ia dapat memenuhi sumpah Sang Drupadi
untuk keramas dengan darah Dursasana yang dulu menghinanya pada kisah Pandawa
Dadu.
Dia
mempunyai Aji Pancanaka. Ajinya selalu digenggam kuat sebagai senjata perang.
Ini berarti jika shalat itu dikerjakan dengan baik, ia mempunyai kekuatan yang
tangguh (Effendy Zarkasi, 1977: 91).
Bagaimana sosok dan “penampakan”
seorang Werkudara ?
Raut
muka Bima berhidung tumpul mata thelengan, seluruhnya berwarna hitam. Bima
disebut juga Bratasena dengan mengubah rambut ngore menjadi galung. Ia gagah
perkasa, bermuka tajam tidak menakutkan tetapi mendekatkan, banyak bulu tanda
tahan uji. Mata bulat, terbuka serta berpandangan tajam, tanda pemberani.
Berkuku tanda Bayu. Memang ia adalah pusat kekuatan manusia. Kuku itu bernama
Pancanaka, artinya panca = lima, kanaka = kuku. Maksudnya kuku yang berkekuatan
dan ampuhnya melebihi lima macam kuku. Adapun yang dimaksud lima macam kuku,
ialah kuku yang merupakan senjata, misalnya taji, gading, taring, kuku dan tanduk.
Tangan
menggenggam artinya semua hal sudah digenggamnya. Berbusana keprajuritan. Pupuk
jarotasem, mempunyai daya tenteram dan teguh hati. Gelung pudak sategal,
berarti semerbak harum mewangi, karena semua kesempurnaan telah tersimpul
olehnya, Gelung berbentuk supit urang, di muka rendah dan di belakang tinggi,
menjadi lambang bahwa meskipun bermula dari asor atau kalah, akhirnya luhur
juga. Sumping Surengpati, artinya sura = berani, hing pati = kematian.
Maksudnya tidak takut mati itu senantiasa tersumping.
Kelat-bahu
Candradimurti, candra = bulan/ bentuk/ lambang: di = lebih/baik; murti = titik,
cetak, sejiwa, halus. Maksudnya, bila melihat bahunya, dapat diketahui bahwa ia
adalah melambangkan budi yang bagus, berjiwa halus dan hati lurus.
Gelang
Candrakirana, arti candra adalah bulan/ bentuk/ lambang dan kirana berarti
sinar, pancar. Maksudnya ia selalu dilingkungi oleh pancaran bulan segala
sesuatunya serba terang dan menyenangkan hati yang memandangnya. Begitupun pula
tindakannya, sebagai bulan memancarnya bulan artinya dengan perhitungan, tidak
menuruti hawa nafsunya.
Berikat
pinggang Nagabanda, artinya: naga = ular besar, banda = ikat. Maksudnya
kebengisan selalu dikendalikan. Berkampuh poleng bang bintulu aji, berwarna
empat macam, merah, putih, kuning dan hitam. Warna merah simbol keberanian.
Putih lambang kesucian. Kuning berarti kehidupan hasrat, dan hitam keabadian.
Berporong Kepala Nagapangingriman, mempunyai daya, berkhasiat ucapannya.
Celana
cinde Udaraga, artinya uda = taksiran, raga = badan. Maksudnya, segala
perbuatannya selalu memakai duga prayoga, diukur dengan badan sendiri, yang
ringkasnya tepa sarira. Ia mempunyai aji Bandung Bondawasa yang berkesaktian,
prakosa jati wisesa, bila berjalan berprabawa angin taufan, bila diwatak
kekuatannya seratus kali kekuatan gajah.
Pusakanya
bernama Rujakpolo, berujud pemukul (gada) yang jika mengenai otak (polo) tentu
melotot. Suaranya besar, cara bercakapnya terang tegas, penting ringkas,
akhiran kata-katanya selalu anteb. Kepada siapa saja ia tidak menggunakan
bahasa krama (kecuali kepada Dewa Ruci pada kisah Dewa Ruci).
Kepada
saudaranya ia memberi julukan lain dari yang lain, misalnya dengan Sang
Puntadewa, Pembarep, dengan Harjuna Jlamprong, dengan Nakula Sadewa Kembar, dengan Sri Kresna Jliteng, kepada Baladewa disebutnya Bule dan lain-lain.
Puntadewa, Pembarep, dengan Harjuna Jlamprong, dengan Nakula Sadewa Kembar, dengan Sri Kresna Jliteng, kepada Baladewa disebutnya Bule dan lain-lain.
Ia
tidak suka bertekuk lutut atau jongkok, dengan perkataan lain di mana saja ia
selalu berdiri tegak, karena memang demikianlah kodratnya.
Sumber: Werkudara (2) _
wayangprabu.com.htm
Selasa, 26 Maret 2013
Werkudara (3)
Bima Suci
Sang Bima menceburkan dirinya ke dalam samudra nan ganas
mengikuti perintah gurunya, Begawan Durna, untuk mencari “air kehidupan” guna
menggapai kesempurnaan hidup, Tirta Pawitra Mahening Suci. Badan
terombang-ambing dihempas dan diterjang ganas ombak, seolah kapas
dipermainkan tiupan angin kencang di angkasa nan maha luas. Werkudara sudah
pasrah akan nasib dirinya. Namun tekadnya sungguh luar biasa, tidak goyah oleh
kondisi tubuh yang makin lemah.
Sungguh sangat kokoh sikap dan semangat Sang Bima dalam
menuruti apa kata seorang guru yang di hormatinya. Bahkan larangan
saudara-saudaranya para Pandawa dan juga tangisan ibunya untuk mengabaikan
perintah itu, tiada mampu menggoyahkan tekatnya untuk kali ini. Dalam benaknya
tlah terpatri taqlid kepada sang guru, mengikuti apapun kata guru, walaupun
menurut nalar normal dapat dipertanyakan kebenarannya. Itulah Bima ! Selagi
kemantaban tekad tlah hadir, maka halangan apapun tiada digubrisnya.
Tiba-tiba dihadapannya, muncullah seekor naga yang luar
biasa besarnya menghadang laju Bima. Kyai Nabat Nawa, nama naga raksasa itu,
langsung menyerang sosok kecil dihadapannya dan menggigit betis Adik Yudhistira
itu. Belum cukup dengan itu, diraihnya badan Werkudara untuk dibelit dengan
maksud menghancurkan raga manusia yang menjadi mangsanya.
Namun badan Werkudara tidak ikut hancur karena tekadnya
tidak lantas luntur. Semangatnya untuk mengabdi kepada guru begitu kuat
mengalahkan rasa sakit serta rasa lelah yang sangat. Dikerahkan segala upaya,
dikumpulkan seluruh tenaga untuk melepas himpitan naga. Dibayangkan sosok
gurunya, senyum ibunya tercinta, tawa saudara-saudaranya dan tentu saja
disandarkan rasa pasrah sumarah atas segala kehendak Sang Khaliq penguasa alam
semesta. Dan berhasil ! Seketika kemudian Bima melesat menuju leher sang naga
untuk menghunjamkan kuku Pancanaka.
Raung kesakitan yang memekakan telinga mengiringi rubuhnya
sang naga. Mengiringi kematian badan raksasa itu hingga mengambang memenuhi
pandangan. Disekelilingnya, air laut memerah oleh darah.
Werkudara begitu lelah. Sudah hilang kesadarannya.
Perasaannya jiwanya melayang, tak ingat apakah masih hidup atau sudah tiada.
Cukup lama jiwa sang ksatria itu melanglang tak tentu rimba.
Hingga saat tersadar, betapa terkejut Bima ketika dirinya
merasa menginjak tanah, seolah menapak kembali kehidupan. Pandangannya
memastikan bahwa dirinya berada dalam suatu pulau kecil ditengah lautan luas di
dasar samudra itu. Alangkah indahnya pulau itu yang disinari oleh cahaya-cahaya
kemilau menghiasi nuansa sekeliling.
Saat rasa begitu terbuai oleh ketakjuban, tiba-tiba Bima
semakin dikejutkan oleh datangnya Bocah Bajang yang diiringi oleh cahaya yang
mengalahkan cahaya yang ada. Cahaya diatas Cahaya !!! Bojah Bajang itu sungguh
kecil, terlalu kecil bila dibandingkan dengan perawakan Bima. Bocah Bajang itu
berjalan perlahan menghampirinya.
“Aku sungguh heran sekali, sepertinya sudah saatnya kematian
menjemputku. Sama sekali aku tidak merasakan kehidupan lagi. Namun saat ku telusuri
pandangan ke badan sampai ke ujung kaki, ternyata aku masih menyentuh bumi.
Hilang wujudnya naga yang menggigit pahaku, tak disangka aku sekarang terdampar
di pulai kecil yang begitu indah. Tetumbuhan berbuah bergelantungan diselimuti
cahaya. Namun terangnya cahaya tadi masih kalah dengan cahaya yang datang mengiringi
Bocah Bajang menuju kesini” Sang Bima bergumam seolah bicara pada diri sendiri.
“Ayo mengakulah Bocah Bajang, siapa dirimu sebenarnya. Kamu
bermain kesini siapa yang mengantarkan dan mengapa kamu tidak terpengaruh oleh
ikan-ikan yang ganas yang sedang berpesta melahap darah naga itu”
“Werkudara, Kamu jangan gampang pergi bila belum mengetahui
dengan tepat tempat yang hendak kamu tuju. Kamu jangan gampang makan tanpa tahu
apa manfaat yang terkandung dalam makanan itu. Jangan sekali-kali berpakaian, bila
tidak mengetahui bagaimana cara yang benar dalam berbusana. Pernahkan engkau
mendengar cerita tentang seorang dari gunung yang ingin membeli emas di kota.
Saat terjadi transaksi jual beli dengan pedagang, orang gunung tadi hanya
diberi selembar kertas berwarna kuning yang dianggap sebagai emas murni. Maka
berhati-hatilah terhadap segala sesuatu, semua tindakan harus diiringi
berdasarkan ilmunya.”
Sang Bima begitu heran akan sosok mungil di depannya itu
yang telah mengetahui nama dan melantunkan sanepa tentang maksud dan tujuan
perjalanannya. Dan yang membuatnya semakin heran adalah perasaan adem damai
hanya dengan melihat sosok mungil itu serta mendengar suaranya. Siapakah
gerangan sosok itu?
Dan seakan mengerti apa yang tengah bergolak dalam pikiran
Werkudara, maka sosok itu melanjutkan kata-katanya :
“Perkenalkan Werkudara, saya adalah Dewa Kebahagian berjuluk
Sang Hyang Bathara Dewa Ruci”
Seketika duduk bersimpuh Bima dihadapan sosok suci nan
mungil itu. Seumur hidup, Bima tidak pernah “basa karma” kepada siapa-pun,
bahkan kepada Bathara Guru sekalipun. Namun di hadapan sosok suci ini Bima
sungguh tunduk dan sangat takjim bertutur.
Kemudian Werkudara menjelaskan maksudnya hingga sampai
diujung samudra dan bertemu dengan Dewa Ruci ini.
Dewa ruci mengemukakan bahwa Werkudara wajib mendengarkan
apa yang akan diuraikan terkait dengan apa yang sedang dicarinya
Apakah ilmu kesempurnaan hidup itu ? Ilmu kesempurnaan hidup
ini akan diperoleh bila telah sempurna hidupnya. Hidup sudah tidak tergantung
lagi kepada keinginan-keinginan dunia lagi. Kalau seandainya kehidupan manusia
masih menggunakan daya panasnya matahari, daya dari semilir angin, segarnya air
dan masih menginjak bumi dibawah langit, manusia belum bisa dibilang sempurna
karena yang Sempurna itu hanyalah Sang Pencipta. Meskipun ada manusia yang
katanya mempunyai ilmu yang linuwih, mampu melakukan ini, mengerjakan itu,
pasti ada kekurangannya, ada cacatnya, tidak ada yang sempurna di dunia ini
karena dunia dan segala isinya adalah fana belaka.
Apakah “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu ? Tidak akan dapat
diperoleh wujud air itu dimanapun, termasuk ditempat ini. “Tirta Pawitra
Mahening Suci” itu hanyalah sebuah perlambang yang harus dimengerti maksudnya.
Tirta bermakna air, berarti kehidupan. Dimana ada air disitu
bakal ditemui kehidupan. Pawitra adalah bening. Air bening, tidak hanya dilihat
dari wujud air yang bening namun juga harus dilihat dari kegunaannya menghidupi
semua makhluk, manusia, hewan dan tetumbuhan. Mahening, dari kata Maha dan
ening yang mewujudkan arti ketentraman lahir dan batin. Suci, terhindar dari
dosa.
Jelasnya, didalam menjalani hidup ini, mencarilah kehidupan
yang sempurna yang mampu memberikan ketentraman lahir dan batin, mampu
menghindarkan diri dari dosa-dosa yang menyelimuti diri untuk menggapai
kesucian. Namun petunjuk itu belum mampu diperoleh oleh banyak manusia dari
dulu hingga kini meskipun petunjuk itu tlah lama adanya.
Bila ingin mengetahui hidup yang langgeng, tentram terhindar
dari kegalauan dan kekecewaan, manakala tlah dapat menemukan “alam jati”.
Dimanakah Alam Jati itu ? Tidak bisa dilihat oleh mata, hanya mampu dirasakan
melalui cipta.
Bima kemudian diminta untuk memasuki gua garba Dewa Ruci.
“Duh Batara … bagaimana hamba mampu mengerti alam jati
dengan memasuki badan paduka. Badan hamba begitu besar sementara Paduka begitu
kecil. Bahkan, kelingking hamba saja tidak akan mampu masuk ke badan paduka.”
“Hai Werkudara, besar mana kamu dengan jagad ? Bahkan Gunung
dan samudrapun mampu saya terima. Percayalah, masuklah kamu melalui telinga
kiriku.”
Seketika tanpa tahu apa yang terjadi, maka Bima tiba-tiba
melewati telinga Dewa Ruci dan akhirnya sampai ke gua garba Sang Dewa.
Dan saat telah berada di gua garba Dewa Ruci, yang ditemui
Bima hanyalah perasaan tentram belaka.
“Pukulun, hamba sekarang hidup dimana ? Hamba melihat tempat
yang begitu luas seakan tanpa tepi, begitu terang tanpa bayangan. Terangnya
bukan karena cahaya mentari, namun sangat nyata dan indah. Hamba tidak tahu
arah kiblat, mana utara mana selatan, mana barat atau timur. Pun tidak tahu
apakah ini di bawah atau di atas, depan atau belakang. Hamba masih dapat
melihat dengan baik, juga mendengar dengan seksama, namun mengapa hamba tidak
melihat badan hamba sendiri. Yang hamba rasakan hanya kedamaian dan ketentraman
semata. Hamba hidup di alam mana ini Pukulun ?”
“Werkudara, kamu sekarang berada di alam yang bernama “Loka
Baka”, alam kelanggengan, alam jati. Kamu dapat melihat dan mendengar dengan
nyata namun tidak mampu melihat dirimu sendiri, itulah yang dinamakan Jagat
Lagnyana, berada dalam alam kematian namun masih hidup, merasakan mati namun
masih hidup”
“Hamba melihat satu cahya tapi berpendar menjadi delapan”
“Nyala satu cahaya delapan disebut pancamaya. Panca bukan
berarti lima tapi beraneka rupa. Sedangkan delapan cahaya tadi adalah daya
kehidupan lahir batin yaitu : cahaya matahari, cahaya bulan, cahaya bintang,
cahaya mendung, cahaya bumi, cahaya api, cahaya air, cahaya angin.
Cahaya-cahaya itulah yang mampu menghidupi alam semesta. Cahya mentari, bulan
dan bintang mewujudkan badan halus manusia, roh. Sedangkan cahya bumi, api, air
dan angin mewujudkan badan kasar manusia. Ketujuh cahya yang telah menyatu
disebut wahyu nungkat gaib, satu yang samar. Namun hidup haruslah berlandaskan
kepada “pramana” yang adalah atas dorongan Sang Hyang Suksma”
“Pukulun, hamba melihat 4 cahaya 4 warna”
“4 Cahaya bermakna hawa 4 perkara. Merah adalah dorongan
hawa nafsu, hitam perlambang kesentausaan namun berwatak brenggeh, kuning
dorongan keinginan namun berwatak jail dan putih merupakan dorongan kesucian.
Ketiga watak merah, hitam dan kuning senantiasa mengganggu watak putih yang
sendirian. Kalau tidak mempunyai keteguhan sikap dalam menghadapi godaan ketiga
cahya tadi maka cahya putih akan ternoda. Namun bila cahya putih tadi berjalan
secara lurus dalam kebenaran, maka ketiga cahya yang lain akan menyingkir,
hilang, musnah dengan sendirinya.
“Kalau begitu, ijinkanlah hamba tinggal disini selamanya.
Sebab kalau hamba kembali kealam wadag maka pasti akan menemui berbagai derita
sengsara. Sementara di sini yang hamba temui dan rasakan hanyalah kedamaian dan
ketentraman semata”
“Werkudara, sikap yang begitu adalah salah, tidak sesuai
dengan sikap satria yang harus memenuhi kewajiban di dunia dalam menegakan
kebenaran dan memberantas kemungkaran. Kamu disini hanya diperlihatkan alam
jati dan untuk saat ini belum saatnya kamu tinggal disini. Suatu saat nanti
kamu pasti akan menikmati alam itu. Maka keluarlah segera kamu dari gua
garba-ku untuk segera memenuhi tugas kewajiban seorang satria. Tugas pertamamu
telah menanti yaitu menyelamatkan gurumu, Bagawan Durna, yang akan nglalu
njebur samudra.”
Maka berakhirlah pertemuan indah anatar Bima dengan Dewa
Ruci yang mempertebal keyakinannya untuk tetap selalu berjuang memenuhi tugas
kewajiban sebagai seorang manusia utama di muka bumi ini.
Sumber: Werkudara (3) _ wayangprabu.com.htm
Langganan:
Postingan (Atom)