Halaman

Kamis, 28 Maret 2013

TANYA-JAWAB SEPUTAR "MENGENAL DIRI - MENGENAL ALLAH"

"MAN AROFAH  NAFSA HU FA QOD AROFAH  ROBBAHU ...
Barang siapa mengenal diri-nafs ruhaninya maka ia mengenal Tuhannya."

Mengenal diri merupakan kunci mengenal Tuhan. Tak ada yang lebih dekat kepada kita kecuali diri kita sendiri. Karena itu, kita harus belajar untuk mengenal diri kita sendiri berangkat dari menyingkap Rahasia Tuhan pada diri-jasad menuju mengenali dan menyingkap Rahasia Allah pada diri-nafs ruhani kita sehingga pada akhirnya kita diizinkan dan dirahmati-Nya untuk mengenal Allah SWT (Ma'rifatullah).

Pernahkan kita bertanya ke dalam diri sendiri:

"Siapakah aku dan dari mana aku datang? Kemana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini? Dan dimanakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan?"

Sudahkah diketahui bahwa ada 4 sifat yang bersemayam dalam diri kita: hewan, setan, malaikat, dan Tuhan. Kita harus bisa menemukannya, mana di antara keempatnya yang aksidental dan mana yang esensial. Jika kita tidak menyingkap rahasia ini, maka tak akan kita temukan kebahagiaan sejati.

Siapakah aku? Dari mana asal-usulku?
Apakah aku dari datang unsur Hewan?
Apakah aku dari datang unsur Setan?
Apakah aku dari datang unsur Malaikat?
Apakah aku dari datang unsur Tuhan?

Kemanakah aku akan pulang nanti setelah diri-jasadku mati?
Apakah aku akan pulang kembali ke unsur Hewan?
Apakah aku akan pulang kembali ke unsur Setan?
Apakah aku akan pulang kembali ke unsur Malaikat?
Apakah aku akan pulang kembali ke unsur Tuhan?
Apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia fana' ini?


Menurut Al-Qur'aan, manusia dihadirkan ke muka bumi ini adalah untuk melaksanakan Tugas dan Misi Hidup dari Allah SWT (Rajanya manusia, Malikin-naas).

Apa TUGAS HIDUP-ku sebagai manusia yang diutus Raja Manusia (Malikin-naas / Allah SWT) ke muka bumi ini?

PERTAMA, menjadi Budak / Pelayan / Hamba / Abdi Allah SWT ('Abdullah, Ibadillah) sesuai firman-Nya:

"Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin-pikiran dan manusia (diri-jasad dan diri-nafs ruhani) melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku."

KEDUA, menjadi Saksi Allah SWT (Syahid-diin, Syuhada) sesuai firman-Nya:

"Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang Shiddiqien (yang mengenal Al-Haqq / Allah SWT dengan Haqq / Benar), yaitu orang-orang yang menjadi Saksi di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan Nuur-Cahaya mereka. Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka." (QS Al-Hadiid 57: 19).

"Dan orang-orang yang tidak memberikan Kesaksian Palsu, dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah (bersaksi-palsu), mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya (yang tidak memberikan Kesaksian Palsu, terhormat di sisi Allah SWT)." (QS Al- Furqaan 25: 72).

"Dan ketahuilah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam (manusia) dari sulbi (tulang ekor) mereka dan Allah mengambil kesaksian (syahadat) terhadap jiwa (diri-nafs ruhani) mereka seraya Dia berfirman: "Bukankah Aku (Yang punya nama / asma "ALLAH") ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Benar, Engkau Tuhan kami, kami menjadi Saksi-Mu." Kami lakukan kejadian yang demikian itu agar di hari dibangkitkan diri-nafs ruhanimu ke dalam diri-jasadmu (terlahir ke muka bumi) nanti kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (manusia) adalah orang-orang yang tidak ingat lagi (lupa) terhadap kesaksian (syahadat) ini", (QS Al-A'raaf 7: 172).

Apa MISI HIDUP-ku dari Malikin-naas (Raja Manusia / Allah SWT)?

Misi Hidup manusia adalah membentuk pribadi Ihsan-Taqwa yang siap menjadi Khalifah Allah SWT (perwakilan Allah SWT) di muka bumi-jasad dan bumi-jagad dengan membawakan "rahmatan lil 'alamiin" memenuhi harapan dan kehendak-Nya:

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah (perwakilan Allah) di muka bumi." (QS Al-Baqarah 2: 30).

"Dan tiadalah Kami mengutus kamu (diri-nafs ruhani), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam ("rahmatan lil 'alamiin")." (QS Al-Anbiyaa' 21: 107).

Untuk dapat melaksanakan Tugas Hidup dan Misi Hidup kita tersebut di atas, terlebih dahulu kita harus mengenali dan menguasai ke 4 Sifat tersebut.
Caranya:

    Sifat Hewan dikenali dan dikuasai dengan Amaliyah / Laku Syari'at;
    Sifat Setan dikenali dan dikuasai dengan Amaliyah / Laku Tarikat;
    Sifat Malaikat dikenali dan dikuasai dengan Amaliyah / Laku Hakikat; dan
    Sifat Tuhan dikenali dan dikaruniakan-Nya kepada hamba yang dikehendaki-Nya dengan Amaliyah / Laku Ma'rifat.

Nabi Besar Muhammad SAW bersabda: "Takhallaqu fi akhlaq Illah ... berakhlaklah engkau dengan akhlak Allah."

Rasulullah Muhammad SAW bersabda, "Setiap anak dilahirkan dengan fithrah (kondisi diri-nafs ruhani yang mengenal Allah Al-Fathir); Orang tua dan lingkungannya kemudian menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (memeluk agama tertentu)."

Setiap manusia, di lubuk terdalam kesadarannya mendengar pertanyaan Tuhannya, "Bukankah Aku ini Tuhamu?" Dan menjawab "Ya, aku menjadi Saksi-Mu." (Lihat Al-Qur'aan Surat Al-'Araaf 7: 172).

Tetapi kebanyakan hati manusia bagaikan cermin yang telah tertutup karat dan kotoran sehingga tidak dapat memantulkan gambaran yang jernih, atau seperti rembulan yang ditutupi gerhana total sehingga tidak dapat menerima dan memantulkan / memancarkan sinar Cahaya Sang Matahari. Berbeda dengan hati para nabi dan wali yang, meski mereka pun memiliki nafsu serupa kita, sangat peka terhadap kesan-kesan Ilahiah.

Sumber: Ayahanda Ridhwanullah

Werkudara (1)

Sosok dan Kiprah Werkudara

Siapa yang tak kenal dengan Werkudara ?

Ketika lahir, ia terbungkus. Segala senjata pusaka tak dapat memecahkannya. Ia dibawa ke tengah hutan Tegrakan. Di sana ia dapat keluar dari bungkusnya karena dibelah dengan gading seekor gajah yang bernama Sena, yang akhirnya menjanma kepadanya. Selanjutnya ia diberi nama Sena. Sena dilahirkan di negeri Astina yang pada waktu itu sedang berperang melawan Prabu Tremboko di negeri Pringgadani, yang kemudian Prabu Tremboko kalah dan binasa oleh bayi Sang Sena.

Dalam lakon Bale Sigala-gala, ia mendapat petunjuk dari Dewa, untuk menyelamatkan ibu dan saudara-saudaranya dengan mengikuti Garanganseta, musang putih malihan Raden Sanjaya putera dari Sang Widura. Setelah Garanganseta hilang ia sudah sampai di Kahyangan Saptapratala, kemudian ia kawin dengan Dewi Nagagini, Raja dan Dewa di Saptapratala, yang akhirnya ia berputra Aria Anantaraja.

Kemudian Raja raksasa Ekacakra, sang kanibal, Raja Baka pun akhirnya tewas ditangan Sang Werkudara, yang berakibat kemerdekaan bagi rakyatnya akan kesewenang-wenangan pemerintahan rajanya, menghilangkan ketakutan menjadi persembahan sang raja yang doyan daging manusia ! (lakon Bima bumbu)

Dalam lakon Jagal Bilawa ini dapat membunuh jagoan Sang Kenca dan Kencaka bernama Rajamala. Juga Sang Kenca dan Kencaka beserta tentaranya yang akan merebut kekuasaan Kerajaan Prabu Matswapati lebur punah oleh Sang Sena. Sebagai tanda terima kasih, para Pandawa mendapat hadiah hutan Endraprasta (Babad Pandawa).

Dalam lakon Kangsa Adu Jago, ia pernah dipinjam oleh Prabu Basudewa, diadu lawan jagonya Kangsa yang bernama Suratimantra.

Lakon Pandawa Timbang, ia mempunyai kesaktian dimana beratnya melebihi Kurawa yang seratus orang itu. 

Dalam cerita Perlombaan Membuat Sungai Serayu antara Pandawa dengan Kurawa, ia memperoleh kemenangan. Dan kemudian ia kawin dengan Dewi Urangayu putri Resi Ganggamina, sehingga berputera Aria Anantasena.

Serta banyak lagi kisah heroik Sang Bima yang membesarkan namanya.
Siapakah dasanama Sang Pahlawan ini ?

Menurut Hatmasaputra (1967) dalam bukunya yang berjudul „Caking Pakeliran Wayang Purwa dijelaskan arti nama Werkudara.

Sena, artinya dahsyat, maksudnya seorang yang segala-galanya serba mendahsyatkan.

Dwijasena, artinya Dwija = Brahmana yang memberi pelajaran ilmu lahir dan batin, maksudnya ia adalah guru yang tak ada bandingannya.

Bilawa, artinya besar dan tinggi (luhur). Nama ini dipakai pada waktu menyamar di negeri Wirata.

Bharatasena, artinya keturunan Bharata yang amat dahsyat tiada taranya di dalam segala hal.

Bima, artinya gagah perkasa. Memang ia adalah gagah perkasa.

Werkudara, artinya werka = anjing hutan dan udara = perut. Maksudnya perutnya sangat kuat seperti perut anjing hutan.

Kowara, artinya termashur, memang namanya sangat mashur.

Nagata, artinya nyata. Ia berpendirian kepada kebenaran dan kenyataan serta sangat bersahaja.

Kusumadilaga, artinya kusuma = bunga bangsa (ksatria), di = lebih/baik, laga = perang. Maksudnya ksatriya yang ahli tentang peperangan.

Bayusuta, artinya bayu = kekuatan suta = anak, maksudnya ia terbilang putera Bayu.

Kusumayuda, artinya yuda = perang, maksudnya bintang medan perang.

Birawa, artinya Besar dan menakutkan.

Gandawastratmaja, Gandawastra adalah sebutan Sang Pandudewanata, atmaja = anak, maksudnya putera Pandu.

Dandun, artinya teguh atau bertanggung jawab, Maksudnya teguh hati dan konsekwen.

Wayuninda, artinya Wayu (Bayu) = kekuatan, ninda = angin, maksudnya mempunyai prebawa angin (tanda bayu).

Jayadilaga, artinya jaya = unggul, di = amat/lebih/baik, laga = perang, maksudnya dipeperangan selalu mendapat kemenangan.

Wijayasena, artinya wija = wijang/pilah/pilihan/dibawah/terpendam; Sena = dahsyat, maksudnya ksatria yang pendiriannya mendahsyatkan.

Sumber: Werkudara (1) _ wayangprabu.com.htm

Werkudara (2)

Dalam lakon Babad Mertani, dialah sebagai pelopornya membabat sehingga akhirnya ia mendapat negeri Jodipati. Kerajaan Dandun dan nama itupun dipakainya pula, karena Dandun tersebut menitis kepadanya.

Meskipun masih muda, ia telah menuntut ilmu kesempurnaan. Dengan petunjuk dari Pendeta Drona, ia dapat menggapai air suci tirta pawitra mahening suci, tersebut dalam lakon Dewa Ruci, semua karena kesentosaan semangat dan jiwa berbaktinya.

Dalam lakon Pandawa Papa, ia dapat membela Sang Irawan yang akan dimakan oleh Prabu Bakayaksa, Raja Raksasa itu dapat dibunuhnya. Sebagai balas budi. Irawan sanggup menjadi korban agar dalam Baratayuda Pandawa mendapatkan kemenangan.

Dalam lakon Partakrama, ia mencari sasrahan yang sangat berat, ialah berupa banteng sejumlah 40 ekor yang digembalakan oleh Jin Dadungawuk dan Mayanggaseta di padepokan Sendangagung.

Ia sangat bakti terhadap ibu dan kakaknya. Dalam lakon Dewamambang, ia berkorban untuk kakaknya, agar tetap bernama Puntadewa dan tetap bersinggasana di Amarta.

Waktu Sang Hyang Utipati menjalankan hukum yang tidak adil, ia menjadi raja di negeri Gilingwesi bernama Prabu Tuguwasesa, artinya menjalankan keadilan yang tegak. Ada pula yang menamakan Tuhuwasesa yang berarti keadilan yang benar atau sejati.

Dalam lakon Puntadewa Krama, ia berhasil mengalahkan Aria Gandamana yang menjadi pasanggiri Drupadi. Dan disinilah ia mendapat aji Bandung Bandawasa dari Gandamana yang mati tertusuk kuku Pancanaka.

Dalam lakon Lenga-tala, ia dapat merebut kembali dari tangan Kurawa dan ia mendapat kekebalan karena dimandikan dengan minyak tala pusaka Sang Abiyasa.

Dan … dalam Baratayuda, ia dapat memusnahkan musuh-musuh yang tak terbilang banyaknya, diantaranya Bogadenta, Patiweya, Wersaya, Dursasana, Sangkuni, Duryudana dan waktu membunuh Dursasana, ia dapat memenuhi sumpah Sang Drupadi untuk keramas dengan darah Dursasana yang dulu menghinanya pada kisah Pandawa Dadu.

Dia mempunyai Aji Pancanaka. Ajinya selalu digenggam kuat sebagai senjata perang. Ini berarti jika shalat itu dikerjakan dengan baik, ia mempunyai kekuatan yang tangguh (Effendy Zarkasi, 1977: 91).
Bagaimana sosok dan “penampakan” seorang Werkudara ?

Raut muka Bima berhidung tumpul mata thelengan, seluruhnya berwarna hitam. Bima disebut juga Bratasena dengan mengubah rambut ngore menjadi galung. Ia gagah perkasa, bermuka tajam tidak menakutkan tetapi mendekatkan, banyak bulu tanda tahan uji. Mata bulat, terbuka serta berpandangan tajam, tanda pemberani. Berkuku tanda Bayu. Memang ia adalah pusat kekuatan manusia. Kuku itu bernama Pancanaka, artinya panca = lima, kanaka = kuku. Maksudnya kuku yang berkekuatan dan ampuhnya melebihi lima macam kuku. Adapun yang dimaksud lima macam kuku, ialah kuku yang merupakan senjata, misalnya taji, gading, taring, kuku dan tanduk.

Tangan menggenggam artinya semua hal sudah digenggamnya. Berbusana keprajuritan. Pupuk jarotasem, mempunyai daya tenteram dan teguh hati. Gelung pudak sategal, berarti semerbak harum mewangi, karena semua kesempurnaan telah tersimpul olehnya, Gelung berbentuk supit urang, di muka rendah dan di belakang tinggi, menjadi lambang bahwa meskipun bermula dari asor atau kalah, akhirnya luhur juga. Sumping Surengpati, artinya sura = berani, hing pati = kematian. Maksudnya tidak takut mati itu senantiasa tersumping.

Kelat-bahu Candradimurti, candra = bulan/ bentuk/ lambang: di = lebih/baik; murti = titik, cetak, sejiwa, halus. Maksudnya, bila melihat bahunya, dapat diketahui bahwa ia adalah melambangkan budi yang bagus, berjiwa halus dan hati lurus.

Gelang Candrakirana, arti candra adalah bulan/ bentuk/ lambang dan kirana berarti sinar, pancar. Maksudnya ia selalu dilingkungi oleh pancaran bulan segala sesuatunya serba terang dan menyenangkan hati yang memandangnya. Begitupun pula tindakannya, sebagai bulan memancarnya bulan artinya dengan perhitungan, tidak menuruti hawa nafsunya.

Berikat pinggang Nagabanda, artinya: naga = ular besar, banda = ikat. Maksudnya kebengisan selalu dikendalikan. Berkampuh poleng bang bintulu aji, berwarna empat macam, merah, putih, kuning dan hitam. Warna merah simbol keberanian. Putih lambang kesucian. Kuning berarti kehidupan hasrat, dan hitam keabadian. Berporong Kepala Nagapangingriman, mempunyai daya, berkhasiat ucapannya.

Celana cinde Udaraga, artinya uda = taksiran, raga = badan. Maksudnya, segala perbuatannya selalu memakai duga prayoga, diukur dengan badan sendiri, yang ringkasnya tepa sarira. Ia mempunyai aji Bandung Bondawasa yang berkesaktian, prakosa jati wisesa, bila berjalan berprabawa angin taufan, bila diwatak kekuatannya seratus kali kekuatan gajah.

Pusakanya bernama Rujakpolo, berujud pemukul (gada) yang jika mengenai otak (polo) tentu melotot. Suaranya besar, cara bercakapnya terang tegas, penting ringkas, akhiran kata-katanya selalu anteb. Kepada siapa saja ia tidak menggunakan bahasa krama (kecuali kepada Dewa Ruci pada kisah Dewa Ruci).

Kepada saudaranya ia memberi julukan lain dari yang lain, misalnya dengan Sang
Puntadewa, Pembarep, dengan Harjuna Jlamprong, dengan Nakula Sadewa Kembar, dengan Sri Kresna Jliteng, kepada Baladewa disebutnya Bule dan lain-lain.

Ia tidak suka bertekuk lutut atau jongkok, dengan perkataan lain di mana saja ia selalu berdiri tegak, karena memang demikianlah kodratnya.       

Sumber: Werkudara (2) _ wayangprabu.com.htm

Selasa, 26 Maret 2013

Werkudara (3)


Bima Suci
Sang Bima menceburkan dirinya ke dalam samudra nan ganas mengikuti perintah gurunya, Begawan Durna, untuk mencari “air kehidupan” guna menggapai kesempurnaan hidup, Tirta Pawitra Mahening Suci. Badan terombang-ambing dihempas dan diterjang ganas ombak, seolah kapas dipermainkan tiupan angin kencang di angkasa nan maha luas. Werkudara sudah pasrah akan nasib dirinya. Namun tekadnya sungguh luar biasa, tidak goyah oleh kondisi tubuh yang makin lemah.

Sungguh sangat kokoh sikap dan semangat Sang Bima dalam menuruti apa kata seorang guru yang di hormatinya. Bahkan larangan saudara-saudaranya para Pandawa dan juga tangisan ibunya untuk mengabaikan perintah itu, tiada mampu menggoyahkan tekatnya untuk kali ini. Dalam benaknya tlah terpatri taqlid kepada sang guru, mengikuti apapun kata guru, walaupun menurut nalar normal dapat dipertanyakan kebenarannya. Itulah Bima ! Selagi kemantaban tekad tlah hadir, maka halangan apapun tiada digubrisnya.

Tiba-tiba dihadapannya, muncullah seekor naga yang luar biasa besarnya menghadang laju Bima. Kyai Nabat Nawa, nama naga raksasa itu, langsung menyerang sosok kecil dihadapannya dan menggigit betis Adik Yudhistira itu. Belum cukup dengan itu, diraihnya badan Werkudara untuk dibelit dengan maksud menghancurkan raga manusia yang menjadi mangsanya.

Namun badan Werkudara tidak ikut hancur karena tekadnya tidak lantas luntur. Semangatnya untuk mengabdi kepada guru begitu kuat mengalahkan rasa sakit serta rasa lelah yang sangat. Dikerahkan segala upaya, dikumpulkan seluruh tenaga untuk melepas himpitan naga. Dibayangkan sosok gurunya, senyum ibunya tercinta, tawa saudara-saudaranya dan tentu saja disandarkan rasa pasrah sumarah atas segala kehendak Sang Khaliq penguasa alam semesta. Dan berhasil ! Seketika kemudian Bima melesat menuju leher sang naga untuk menghunjamkan kuku Pancanaka.

Raung kesakitan yang memekakan telinga mengiringi rubuhnya sang naga. Mengiringi kematian badan raksasa itu hingga mengambang memenuhi pandangan. Disekelilingnya, air laut memerah oleh darah.
Werkudara begitu lelah. Sudah hilang kesadarannya. Perasaannya jiwanya melayang, tak ingat apakah masih hidup atau sudah tiada. Cukup lama jiwa sang ksatria itu melanglang tak tentu rimba.

Hingga saat tersadar, betapa terkejut Bima ketika dirinya merasa menginjak tanah, seolah menapak kembali kehidupan. Pandangannya memastikan bahwa dirinya berada dalam suatu pulau kecil ditengah lautan luas di dasar samudra itu. Alangkah indahnya pulau itu yang disinari oleh cahaya-cahaya kemilau menghiasi nuansa sekeliling.

Saat rasa begitu terbuai oleh ketakjuban, tiba-tiba Bima semakin dikejutkan oleh datangnya Bocah Bajang yang diiringi oleh cahaya yang mengalahkan cahaya yang ada. Cahaya diatas Cahaya !!! Bojah Bajang itu sungguh kecil, terlalu kecil bila dibandingkan dengan perawakan Bima. Bocah Bajang itu berjalan perlahan menghampirinya.

“Aku sungguh heran sekali, sepertinya sudah saatnya kematian menjemputku. Sama sekali aku tidak merasakan kehidupan lagi. Namun saat ku telusuri pandangan ke badan sampai ke ujung kaki, ternyata aku masih menyentuh bumi. Hilang wujudnya naga yang menggigit pahaku, tak disangka aku sekarang terdampar di pulai kecil yang begitu indah. Tetumbuhan berbuah bergelantungan diselimuti cahaya. Namun terangnya cahaya tadi masih kalah dengan cahaya yang datang mengiringi Bocah Bajang menuju kesini” Sang Bima bergumam seolah bicara pada diri sendiri.
“Ayo mengakulah Bocah Bajang, siapa dirimu sebenarnya. Kamu bermain kesini siapa yang mengantarkan dan mengapa kamu tidak terpengaruh oleh ikan-ikan yang ganas yang sedang berpesta melahap darah naga itu”
“Werkudara, Kamu jangan gampang pergi bila belum mengetahui dengan tepat tempat yang hendak kamu tuju. Kamu jangan gampang makan tanpa tahu apa manfaat yang terkandung dalam makanan itu. Jangan sekali-kali berpakaian, bila tidak mengetahui bagaimana cara yang benar dalam berbusana. Pernahkan engkau mendengar cerita tentang seorang dari gunung yang ingin membeli emas di kota. Saat terjadi transaksi jual beli dengan pedagang, orang gunung tadi hanya diberi selembar kertas berwarna kuning yang dianggap sebagai emas murni. Maka berhati-hatilah terhadap segala sesuatu, semua tindakan harus diiringi berdasarkan ilmunya.”

Sang Bima begitu heran akan sosok mungil di depannya itu yang telah mengetahui nama dan melantunkan sanepa tentang maksud dan tujuan perjalanannya. Dan yang membuatnya semakin heran adalah perasaan adem damai hanya dengan melihat sosok mungil itu serta mendengar suaranya. Siapakah gerangan sosok itu?
Dan seakan mengerti apa yang tengah bergolak dalam pikiran Werkudara, maka sosok itu melanjutkan kata-katanya :
“Perkenalkan Werkudara, saya adalah Dewa Kebahagian berjuluk Sang Hyang Bathara Dewa Ruci”
Seketika duduk bersimpuh Bima dihadapan sosok suci nan mungil itu. Seumur hidup, Bima tidak pernah “basa karma” kepada siapa-pun, bahkan kepada Bathara Guru sekalipun. Namun di hadapan sosok suci ini Bima sungguh tunduk dan sangat takjim bertutur.
Kemudian Werkudara menjelaskan maksudnya hingga sampai diujung samudra dan bertemu dengan Dewa Ruci ini.

Dewa ruci mengemukakan bahwa Werkudara wajib mendengarkan apa yang akan diuraikan terkait dengan apa yang sedang dicarinya

Apakah ilmu kesempurnaan hidup itu ? Ilmu kesempurnaan hidup ini akan diperoleh bila telah sempurna hidupnya. Hidup sudah tidak tergantung lagi kepada keinginan-keinginan dunia lagi. Kalau seandainya kehidupan manusia masih menggunakan daya panasnya matahari, daya dari semilir angin, segarnya air dan masih menginjak bumi dibawah langit, manusia belum bisa dibilang sempurna karena yang Sempurna itu hanyalah Sang Pencipta. Meskipun ada manusia yang katanya mempunyai ilmu yang linuwih, mampu melakukan ini, mengerjakan itu, pasti ada kekurangannya, ada cacatnya, tidak ada yang sempurna di dunia ini karena dunia dan segala isinya adalah fana belaka.

Apakah “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu ? Tidak akan dapat diperoleh wujud air itu dimanapun, termasuk ditempat ini. “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu hanyalah sebuah perlambang yang harus dimengerti maksudnya.

Tirta bermakna air, berarti kehidupan. Dimana ada air disitu bakal ditemui kehidupan. Pawitra adalah bening. Air bening, tidak hanya dilihat dari wujud air yang bening namun juga harus dilihat dari kegunaannya menghidupi semua makhluk, manusia, hewan dan tetumbuhan. Mahening, dari kata Maha dan ening yang mewujudkan arti ketentraman lahir dan batin. Suci, terhindar dari dosa.

Jelasnya, didalam menjalani hidup ini, mencarilah kehidupan yang sempurna yang mampu memberikan ketentraman lahir dan batin, mampu menghindarkan diri dari dosa-dosa yang menyelimuti diri untuk menggapai kesucian. Namun petunjuk itu belum mampu diperoleh oleh banyak manusia dari dulu hingga kini meskipun petunjuk itu tlah lama adanya.

Bila ingin mengetahui hidup yang langgeng, tentram terhindar dari kegalauan dan kekecewaan, manakala tlah dapat menemukan “alam jati”. Dimanakah Alam Jati itu ? Tidak bisa dilihat oleh mata, hanya mampu dirasakan melalui cipta.

Bima kemudian diminta untuk memasuki gua garba Dewa Ruci.

“Duh Batara … bagaimana hamba mampu mengerti alam jati dengan memasuki badan paduka. Badan hamba begitu besar sementara Paduka begitu kecil. Bahkan, kelingking hamba saja tidak akan mampu masuk ke badan paduka.”

“Hai Werkudara, besar mana kamu dengan jagad ? Bahkan Gunung dan samudrapun mampu saya terima. Percayalah, masuklah kamu melalui telinga kiriku.”

Seketika tanpa tahu apa yang terjadi, maka Bima tiba-tiba melewati telinga Dewa Ruci dan akhirnya sampai ke gua garba Sang Dewa.

Dan saat telah berada di gua garba Dewa Ruci, yang ditemui Bima hanyalah perasaan tentram belaka.
“Pukulun, hamba sekarang hidup dimana ? Hamba melihat tempat yang begitu luas seakan tanpa tepi, begitu terang tanpa bayangan. Terangnya bukan karena cahaya mentari, namun sangat nyata dan indah. Hamba tidak tahu arah kiblat, mana utara mana selatan, mana barat atau timur. Pun tidak tahu apakah ini di bawah atau di atas, depan atau belakang. Hamba masih dapat melihat dengan baik, juga mendengar dengan seksama, namun mengapa hamba tidak melihat badan hamba sendiri. Yang hamba rasakan hanya kedamaian dan ketentraman semata. Hamba hidup di alam mana ini Pukulun ?”

“Werkudara, kamu sekarang berada di alam yang bernama “Loka Baka”, alam kelanggengan, alam jati. Kamu dapat melihat dan mendengar dengan nyata namun tidak mampu melihat dirimu sendiri, itulah yang dinamakan Jagat Lagnyana, berada dalam alam kematian namun masih hidup, merasakan mati namun masih hidup”
“Hamba melihat satu cahya tapi berpendar menjadi delapan”

“Nyala satu cahaya delapan disebut pancamaya. Panca bukan berarti lima tapi beraneka rupa. Sedangkan delapan cahaya tadi adalah daya kehidupan lahir batin yaitu : cahaya matahari, cahaya bulan, cahaya bintang, cahaya mendung, cahaya bumi, cahaya api, cahaya air, cahaya angin. Cahaya-cahaya itulah yang mampu menghidupi alam semesta. Cahya mentari, bulan dan bintang mewujudkan badan halus manusia, roh. Sedangkan cahya bumi, api, air dan angin mewujudkan badan kasar manusia. Ketujuh cahya yang telah menyatu disebut wahyu nungkat gaib, satu yang samar. Namun hidup haruslah berlandaskan kepada “pramana” yang adalah atas dorongan Sang Hyang Suksma”
“Pukulun, hamba melihat 4 cahaya 4 warna”

“4 Cahaya bermakna hawa 4 perkara. Merah adalah dorongan hawa nafsu, hitam perlambang kesentausaan namun berwatak brenggeh, kuning dorongan keinginan namun berwatak jail dan putih merupakan dorongan kesucian. Ketiga watak merah, hitam dan kuning senantiasa mengganggu watak putih yang sendirian. Kalau tidak mempunyai keteguhan sikap dalam menghadapi godaan ketiga cahya tadi maka cahya putih akan ternoda. Namun bila cahya putih tadi berjalan secara lurus dalam kebenaran, maka ketiga cahya yang lain akan menyingkir, hilang, musnah dengan sendirinya.

“Kalau begitu, ijinkanlah hamba tinggal disini selamanya. Sebab kalau hamba kembali kealam wadag maka pasti akan menemui berbagai derita sengsara. Sementara di sini yang hamba temui dan rasakan hanyalah kedamaian dan ketentraman semata”

“Werkudara, sikap yang begitu adalah salah, tidak sesuai dengan sikap satria yang harus memenuhi kewajiban di dunia dalam menegakan kebenaran dan memberantas kemungkaran. Kamu disini hanya diperlihatkan alam jati dan untuk saat ini belum saatnya kamu tinggal disini. Suatu saat nanti kamu pasti akan menikmati alam itu. Maka keluarlah segera kamu dari gua garba-ku untuk segera memenuhi tugas kewajiban seorang satria. Tugas pertamamu telah menanti yaitu menyelamatkan gurumu, Bagawan Durna, yang akan nglalu njebur samudra.”

Maka berakhirlah pertemuan indah anatar Bima dengan Dewa Ruci yang mempertebal keyakinannya untuk tetap selalu berjuang memenuhi tugas kewajiban sebagai seorang manusia utama di muka bumi ini.

Sumber: Werkudara (3) _ wayangprabu.com.htm